Presiden Joko Widodo memberikan konferensi pers di halaman belakang komplek istana, Jakartabeberapa waktu lalu.
JAKARTA, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting menilai kesepakatan pemerintah dan DPR yang menyetujui pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan ketidakpekaan terhadap masa depan KPK.
Meski begitu, Presiden Joko Widodo masih menjadi harapan terakhir untuk membatalkan revisi UU KPK dengan tidak menerbitkan Surat Presiden (Surpres).
"Terlepas dari usulan pihak yang mana, Presiden tetap memegang kunci berlanjut atau tidaknya revisi UU KPK melalui instrumen Surpres," ujar Miko dalam siaran pers yang diterima, Senin (30/11/2015).
Menurut Miko, Presiden memiliki pilihan untuk menolak atau menyetujui pembahasan RUU KPK dengan menerbitkan atau tidak surat presiden.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 49 dan Pasal 50 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan pembahasan suatu RUU dapat dilakukan ketika Presiden menerbitkan Surpres.
Miko mengatakan, penerbitan Surpres mengkonfirmasi persetujuan Presiden untuk membahas suatu RUU, melalui penugasan menteri terkait mewakili Presiden. Tanpa adanya Surpres, pembahasan terhadap revisi UU KPK tidak bisa dilaksanakan.
"Apabila Surpres tidak dikeluarkan oleh Presiden, berarti Presiden mengambil sikap tidak menyetujui RUU dan menolak meneruskannya ke tahap pembahasan," kata Miko.
Miko mengatakan, janji Jokowi memperkuat KPK kembali ditagih. Belum selesai dengan kriminalisasi pimpinan KPK dan penundaan pemilihan pimpinan KPK, kini undang-undangnya kembali didorong untuk direvisi.
"Tanpa sikap yang jelas sama saja Presiden menyetujui atau setidak-tidaknya mendiamkan semua rangkaian pelemahan KPK di era pemerintahannya ini," kata Miko.
"Terlepas dari usulan pihak yang mana, Presiden tetap memegang kunci berlanjut atau tidaknya revisi UU KPK melalui instrumen Surpres," ujar Miko dalam siaran pers yang diterima, Senin (30/11/2015).
Menurut Miko, Presiden memiliki pilihan untuk menolak atau menyetujui pembahasan RUU KPK dengan menerbitkan atau tidak surat presiden.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 49 dan Pasal 50 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan pembahasan suatu RUU dapat dilakukan ketika Presiden menerbitkan Surpres.
Miko mengatakan, penerbitan Surpres mengkonfirmasi persetujuan Presiden untuk membahas suatu RUU, melalui penugasan menteri terkait mewakili Presiden. Tanpa adanya Surpres, pembahasan terhadap revisi UU KPK tidak bisa dilaksanakan.
"Apabila Surpres tidak dikeluarkan oleh Presiden, berarti Presiden mengambil sikap tidak menyetujui RUU dan menolak meneruskannya ke tahap pembahasan," kata Miko.
Miko mengatakan, janji Jokowi memperkuat KPK kembali ditagih. Belum selesai dengan kriminalisasi pimpinan KPK dan penundaan pemilihan pimpinan KPK, kini undang-undangnya kembali didorong untuk direvisi.
"Tanpa sikap yang jelas sama saja Presiden menyetujui atau setidak-tidaknya mendiamkan semua rangkaian pelemahan KPK di era pemerintahannya ini," kata Miko.
No comments:
Post a Comment