Wijianto (30) warga Nganjuk, Jawa Timur, bersama Sri Maryati Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Cirebon di kantor balaikota Cirebon, usai memberi materi di salah satu Universitas di Kota Cirebon, Senin Siang (30/11/2015). Wijianto adalah ODHA yang menjalankan misi Jalan Kaki Jelajah Negeri selama dua tahun untuk mencegah penyebaran HIV AIDS yang marak, dan membongkar stigma negatif masyarakat terhadap ODHA.
CIREBON, Masih teringat jelas di ingatan Wijianto (30), sejumlah perlakuan tak adil kepada dirinya dan sejumlah teman yang didiagnosa menderita HIV/AIDS.
Bahkan, yang membuatnya begitu sedih, diskriminasi dilakukan sejumlah perawat di rumah sakit di Jakarta.
“Saya sering kali melihat kawan, teman, mendapat perlakuan yang tidak adil, dan tidak manusiawi. Bahkan saya sendiri mendapat stigma dan diskriminasi yang sangat amat kencang saat terbaring di rumah sakit,” ungkap Wijianto.
Dijauhi
Awalnya, dia diketahui menderita TBC dan sesak akibat keracunan obat.
Sel CD4 atau sel darah putihnya menurun drastis hingga tersisa 24 dari jumlah normal 1.500 dalam tubuh manusia sehat. Badannya melepuh, keluar bercak darah di muka, mulut, dan sekujur tubuh.
“Saat itulah saya divonis HIV Positif. Perawat kan harusnya mengerti, Mas. Tapi itu justru menjauh, takut, dan terlihat jijik sama saya. Sampai menerima uang untuk titip makanan pun tidak ada yang mau,” lanjut dia.
Bahkan istri, satu-satunya orang yang berada di sampingnya pun, mulai menjauh karena ketakutan.
Itulah sedikit cerita dari sejumlah pengalaman pahit yang dirasakan pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, saat ditemui di kantor Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Cirebon, Senin petang (30/11/2015).
Dia adalah satu dari sejumlah warga Indonesia yang disebut orang dengan HIV AIDS (ODHA).
Namun, segudang pengalaman itu akhirnya membuat pria yang akrab disapa Gareng ini menjadi tangguh. Ia memang tak berbadan tegap, berisi, dan apalagi kekar, justru sebaliknya, yakni kurus kering.
Gareng memiliki keberanian dan semangat tinggi untuk kembali hidup sehat dan mengampanyekan hidup sehat ke penjuru Nusantara. Menariknya, misi yang dilakukannya ekstrem.
Gareng memilih misi itu dengan berjalan kaki. Selain memang hobi, dengan berjalan kaki dari kota ke kota, ia hendak membuktikan dan membongkar stigma negatif masyarakat bahwa ODHA lemah, penyakitan, tak bermanfaat, bahkan sampah masyarakat.
Dengan jalan kaki, dia juga ingin membuktikan bahwa ODHA sehat dan mampu bersilaturahim, memberikan manfaat dengan bekal pengalaman, dan sosialisasi yang pernah dipelajarinya.
“Misi ini saya sebut Langkah Kaki Jelalah Negeri Sosialisasi HIV AIDS. Tujuannya untuk mencegah penularan HIV AIDS, memberi dukungan kepada kawan-kawan yang HIV positif dan juga membongkar stigma negatif, dan meminimalisir diskriminiasi masyarakat pada kaum ODHA,” kata dia.
Gareng pertama kali keluar rumah di Jakarta, pada tanggal 7 November lalu, tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-33. Dia melanjutkan ke Bogor, lalu lanjut ke Ciawi, Sukabumi, Cianjur, Cimahi, Bandung, Sumedang, Majalengka dan Cirebon.
Dia akan melanjutkan perjalanannya ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Makasar, Kendari, Ambon, Manokwari, Halmahera, Gorontalo, Manado, Palu, dan lainnya. Misi tersebut ditargetkan selesai sekitar pada dua tahun mendatang, yakni 7 November 2017.
Dalam menjalankan misi berjalan kaki selama dua tahun itu, tak banyak peralatan yang dibawanya. Gareng hanya membawa pakaian seadanya, peta, buku catatan, buku materi, obat-obatan, dan obat Anti-Retroviral (ARV) yang menghambat virus HIV dalam merusak sistem kekebalan tubuh.
Semuanya itu disimpan dalam tas sederhana yang ditutupi spanduk bertuliskan “Langkah Kaki Jelalah Negeri, Cegah Penularan HIV, dan Dukung Orang Yang Terinfeksi”. Dia juga memasang bendera merah putih di sisi kanan spanduk.
Sejak awal misi ini, banyak sekali kendala dan halangan yang dialaminya. Orang–orang di sekitar Gareng, Yayasan Pelita Ilmu, Komisi Penanggulangan AIDs Nasional, dan lainnya, ragu akan rencananya berjalan kaki ini.
Namun, dia berusaha meyakinkan hingga akhirnya diperbolehkan. Dalam perjalanan, tak sedikit yang menganggapnya orang gila, namun tak sedikit juga yang menganggapnya bukan ODHA, karena kuat berjalan kaki cukup jauh.
“Di dalam perjalanan, banyak pengalamanya Mas, khususnya lingkungan yang panas, dan hujan. Di Majalengka, ada yang tidak percaya, saya ajak ikut jalan, ternyata angkat tangan, dan hanya kuat beberapa jarak saja,” katanya bercanda.
Keinginan keras untuk mensosialisasikan pencegahan HIV AIDS, adalah sebuah refleksi dan evaluasi dari pengalaman hidupnya. Gareng ingin, cukup dia, dan tak ada lagi yang terperosok dalam kehidupan yang kelam.
Gara-gara putaw
Tadinya, Gareng adalah seorang pekerja mebel di Surabaya tahun 2002 lalu. Ia masuk dalam lingkungan pemakai putaw. Bahkan, seorang wanita yang kemudian menjadi pacarnya pun seorang pecandu.
Gareng terus menolak, meskipun akhirnya tergoda, dan juga menjadi candu. Selama kurang lebih tiga tahun, 2002–2005, dia rutin mengonsumsi putaw.
“Tahun 2005, ketahuan keluarga, dan akhirnya dibawa pulang untuk disembuhkan. Di situlah, saya mengenal istilah “sakau” yang rasanya tidak dapat diungkapkan kata-kata. Hingga akhirnya, berangsur pulih, dan pergi ke Jakarta untuk kembali merantau berjualan bakso,” ungkapnya.
Tahun 2011, Gareng menjadi seorang satpam di salah satu tempat ibadah. Ia kerap kali mendapatkan shift malam hingga membuatnya sakit paru. Namun, itu adalah awal, dimana ia akhirnya divonis ODHA.
Meski sudah dijauhi istri, ia hanya takut, putri satu-satunya tertular.
“Namun setelah cek ke dokter, pada tahun 2012, anak saya sehat-sehat saja dan negatif. Itu yang membuat saya kembali semangat hidup, dan menjadi spirit untuk misi panjang ini,” tutupnya.
No comments:
Post a Comment