Hal tersebut akan meminimalisasi kecemasan masyarakat akan pelemahan KPK melalui revisi undang-undang tersebut.
"Kalau prosesnya terbuka, termasuk KPK diberi peluang untuk masuk ke dalam pemerintah dan diberi ruang untuk memberikan pernyataan, bukan sebagai tim yang pasif, saya pikir kekhawatiran masyarakat bisa dikurangi," ujar Eva dalam diskusi di Jakarta, Minggu (29/11/2015).
Eva menilai, DPR dan pemerintah harus lebih akuntabel dan transparan dalam membahas revisi UU KPK.
Menurut dia, KPK juga harus dilibatkan dalam revisi UU tersebut agar pasal yang diamandemen tidak berdampak buruk bagi institusi itu.
"Ruang negosiasi masih terbuka dan biarkan masyarakat bersuara, dan KPK silakan, sebagai bagian dari pemerintah, melakukan argumen dan memberikan rekomendasi," kata Eva.
Revisi UU KPK menjadi usulan DPR yang akan dibawa ke Badan Musyawarah pada Senin (30/11/2015), dan ke Paripurna pada Selasa (1/12/2015).
Setelah disahkan di Paripurna, Presiden Joko Widodo akan mengeluarkan Surat Presiden. Revisi ini akan mulai dibahas pada awal tahun depan karena masuk ke dalam prolegnas prioritas 2016.
Dalam rapat itu, anggota Baleg dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Al Muzzammil Yusuf, meminta KPK menjadi lembaga pertama yang diundang dalam membahas revisi ini.
Hal ini dilakukan agar tak ada kecurigaan publik bahwa DPR hendak melemahkan KPK. Usulan ini pun disambut baik Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dan semua anggota yang hadir.
Dicurigai sebagai pelemahan KPK
Rencana pembahasan RUU KPK sempat menuai kontroversi. Sejumlah kalangan pun menolak pembahasan itu karena dianggap sebagai pintu masuk pelemahan KPK.
Namun, setelah lima pimpinan DPR bertemu dengan Presiden Joko Widodo, pembahasan RUU KPK disepakati untuk ditunda.
Meski
ditunda, perbaikan undang-undang ini tak pernah dicabut dalam prolegnas
lima tahunan yang ditetapkan DPR pada masa awal kerjanya.
No comments:
Post a Comment