Refly Harun: Anggota DPR Seharusnya Disamakan dengan Petahana


Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun berdiskusi dalam acara Polemik Dramaturgi Pemilu Serentak di Jakarta, Sabtu (25/1/2014). Sebelumnya Mahkamah Kontritusi mengabulkan tuntutan koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Yusrli Ihza Mahendra, Effendi Gazali dan kawan-kawan untuk menyelenggarakan Pemilu dan Pilpres secara serentak pada tahun 2019.

JAKARTA,  Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan Putusan Mahamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang mengharuskan mundurnya Anggota DPR dan DPRD saat maju di Pilkada serentak 2017 justru tidak adil. "Awalnya proses munculnya putusan tersebut hendak mengakomodir keadilan bagi PNS, TNI, Polri yang harus mundur saat maju di Pilkada, ini kan tidak tepat karena seharusnya anggota DPR dibandingkannya dengan Petahana," tutur Refly saat diwawancarai di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/5/2016).
Jika disamakan dengan petahana, maka anggota anggota DPR dan DPRD tidak perlu mundur dari jabatannya. Mereka hanya diwajibkan untuk mengambil cuti.
"Makanya, harusnya pemerintah juga memikirkan hal itu, putusan MK tersebut kurang tepat, karena keadilan bagi anggota DPR harusnya disamakan dengan petahana, cukup cuti saja," lanjut dia.
Refly pun menilai, lebih baik pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas detil pengawasan dan pemberian sanksi bagi tim pasangan calon yang tertangkap melakukan praktik politik uang.
"Itu lebih penting daripada membahas mundur tidaknya anggota DPR, karena ketika anggota DPR tidak mundur pun mereka tidak bisa menggunakan kekuasaannya di legislatif untuk kepentingan kampanye, tidak ada konflik kepentingannya," ucap dia.
Sebelumnya Ketua Komisi II Rambe Kamarul Zaman mengatakan, DPR dan pemerintah belum menyepakati aturan anggota Dewan yang ingin maju dalam Pilkada. Perdebatan masih seputar kewajiban mundur atau cukup cuti bagi anggota dewan yang maju dalam Pilkada.
Pemerintah tetap mengusulkan anggota dewan harus mundur ketika ditetapkan sebagai calon kepala daerah.
Rambe menjelaskan, fraksi-fraksi masih berbeda pendapat, ada yang menyatakan apa pun keputusannya diserahkan kepada pemerintah yang melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi.
Pendapat fraksi lain, menurut dia, ada yang mengusulkan agar tidak melanggar putusan MK, diusulkan anggota DPR yang menduduki jabatan di alat kelengkapan dewan harus mundur.
Anggota Komisi II DPR Hetifah Sjafudian mengatakan, putusan MK masih dapat berubah jika kembali diajukan uji materi. Putusan MK, kata dia, pada dasarnya juga mempertimbangkan perkembangan situasi logis yang ada saat itu.
Dalam putusannya, MK sebelumnya mewajibkan anggota Dewan yang telah ditetapkan sebagai calon kepala daerah untuk mundur dari jabatannya. Hal itu bertujuan untuk memberikan rasa keadilan bagi pemangku jabatan di instansi pemerintah lainnya yang diwajibkan untuk melakukan hal yang sama.
MK berpandangan bahwa Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal tersebut bersifat diskriminatif, menunjukkan adanya pembedaan syarat yang merugikan hak konstitusional warga negara.
Bunyi pasal tersebut adalah, "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota DPR, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota DPD, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota DPRD."
MK menilai bahwa kewajiban mengundurkan diri dari jabatan saat mencalonkan diri sebagai kepala daerah, seperti yang dikenakan pada pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, serta pejabat dan pegawai BUMN/BUMD, juga seharusnya berlaku bagi legislator yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

No comments:

Post a Comment