"Kebiri itu kan ada obatnya, otomatis kan negara menganggarkan, itu
pun ketika efek kebiri selesai belum tentu pelakunya tidak mengulangi
perbuatannya lagi, makanya lebih baik negara mengalokasikannya untuk
membiayai rehabilitasi korban," ujat Khotimun dalam jumpa pers Minggu
(29/5/2016) di Kantor YLBHI Jakarta.
Khotimun memaparkan setidaknya korban kekerasan seksual membutuhkan dana sebesar Rp 2 juta untuk melakukan konsultasi dengan psikolog.
Problemnya mayoritas korban kekerasan seksual tingkat ekonominya tergolong menengah ke bawah.
Dan selama ini negara tidak membantu menanggungnya.
"Jelas lebih baik negara membiayai para korban yang membutuhkan pemulihan kejiwaan, bukan malah memberlakukan hukuman kebiri yang tidak efektif," tutur Khotimun.
Dia pun menyarankan supaya Pemerintah melakukan reformasi tata kelola lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
Supaya para pelaku kekerasan seksual mendapat penanganan yang benar.
"Penanganan para pelaku kekerasan seksual itu harus bertujuan mengubah pola pikir mereka terhadap hal itu, kalau sekadar dikebiri dan setelah efek kebirinya selesai ya tidak menjamin pelaku benar-benar tak mengulang perbuatannya," kata Khotimun.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara.
Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.
Khotimun memaparkan setidaknya korban kekerasan seksual membutuhkan dana sebesar Rp 2 juta untuk melakukan konsultasi dengan psikolog.
Problemnya mayoritas korban kekerasan seksual tingkat ekonominya tergolong menengah ke bawah.
Dan selama ini negara tidak membantu menanggungnya.
"Jelas lebih baik negara membiayai para korban yang membutuhkan pemulihan kejiwaan, bukan malah memberlakukan hukuman kebiri yang tidak efektif," tutur Khotimun.
Dia pun menyarankan supaya Pemerintah melakukan reformasi tata kelola lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
Supaya para pelaku kekerasan seksual mendapat penanganan yang benar.
"Penanganan para pelaku kekerasan seksual itu harus bertujuan mengubah pola pikir mereka terhadap hal itu, kalau sekadar dikebiri dan setelah efek kebirinya selesai ya tidak menjamin pelaku benar-benar tak mengulang perbuatannya," kata Khotimun.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara.
Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.
No comments:
Post a Comment