Menurut Jimly, Anggota Dewan Tak Perlu Mundur jika Maju Pilkada


Ketua Tim Penyelidikan Dugaan Kriminalisasi Pimpinan KPK 2011-2015 yang dibentuk Komnas HAM Nur Kholis (tengah) bersama juru bicara tim Roichatul Aswidah (kiri) dan salah satu anggota Tim Independen Jimly Asshiddiqie menyampaikan hasil pertemuan di Jakarta, Rabu (28/1). Pada pertemuan tersebut, tim dari Komnas HAM berkonsultasi dengan Pak Jimly selaku Ketua Dewan Penasihat Komnas HAM terkait penyelidikan dugaan kriminalisasi terhadap KPK.

JAKARTA,  Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai, Anggota DPR dan DPRD yang hendak maju dalam Pilkada tak perlu mundur dari jabatannya sebagai anggota legislatif. "Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 itu kan sejatinya dikeluarkan bagi jabatan yang sekiranya bisa menimbulkan konflik kepentingan saat si calon maju di Pilkada," kata Jimly saat diwawancarai di Gedung MK, Jakarta, Selasa (31/5/2016).
Jimly mengatakan, aturan itu seharusnya hanya berlaku pada PNS, TNI, dan Polri yang memang berpotensi terganggu netralitasnya saat menjalankan tugas negara di masa kampanye.
"Kalau anggota legislatif kan dia tidak memegang birokrasi dan anggaran, mereka tidak perlu mundur kalau mau maju di Pilkada karena tidak ada konflik kepentingan di situ," tutur Jimly.

Jimly menambahkan, harus dibedakan antara anggota legislatif dan PNS, TNI, dan Polri. Dia menyatakan anggota legislatif merupakan jabatan politik. Sedangkan PNS, TNI, dan Polri merupakan jabatan karier.
"Sehingga putusan MK tersebut sebenarnya tidak apple to apple saat membandingkan anggota DPR dengan PNS, TNI, dan Polri, jabatan politik dan karier tidak bisa disamakan," ucap Jimly.
Ketua Komisi II Rambe Kamarul Zaman sebelumnya mengatakan, DPR dan pemerintah belum menyepakati aturan anggota Dewan yang ingin maju dalam Pilkada. Hal itu terkait apakah harus mundur atau cukup cuti.


Pemerintah tetap mengusulkan anggota Dewan harus mundur ketika ditetapkan sebagai calon kepala daerah.

Rambe menjelaskan, fraksi-fraksi masih berbeda pendapat, ada yang menyatakan apa pun keputusannya diserahkan kepada pemerintah yang melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi.
Pendapat fraksi lain, menurut dia, ada yang mengusulkan agar tidak melanggar putusan MK, diusulkan anggota DPR yang menduduki jabatan di alat kelengkapan dewan harus mundur.
Anggota Komisi II DPR Hetifah Sjafudian mengatakan, putusan MK masih dapat berubah jika kembali diajukan uji materi.
Putusan MK, kata dia, pada dasarnya juga mempertimbangkan perkembangan situasi logis yang ada saat itu.
Dalam putusannya, MK sebelumnya mewajibkan anggota Dewan yang telah ditetapkan sebagai calon kepala daerah untuk mundur dari jabatannya.

Hal itu bertujuan untuk memberikan rasa keadilan bagi pemangku jabatan di instansi pemerintah lainnya yang diwajibkan untuk melakukan hal yang sama.
MK berpandangan bahwa Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut bersifat diskriminatif, menunjukkan adanya pembedaan syarat yang merugikan hak konstitusional warga negara.
Bunyi pasal tersebut adalah, "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota DPR, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota DPD, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota DPRD."
MK menilai bahwa kewajiban mengundurkan diri dari jabatan saat mencalonkan diri sebagai kepala daerah, seperti yang dikenakan pada pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, serta pejabat dan pegawai BUMN/BUMD, juga seharusnya berlaku bagi legislator yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

No comments:

Post a Comment