Suara Tembakan Warnai Pembubaran Acara "Lady Fast" di Yogyakarta


Suasana pembubaran diskusi Lady Fast di Bantul, Yogyakarta, Sabtu (2/4/2016).

YOGYAKARTA, Aparat kepolisian bersama sejumlah organisasi massa yang mengatasnamakan Islam membubarkan acara Lady Fast 2016 di ruang komunitas seni Survive Garage, Bugisan, Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada Sabtu (2/4/2016) malam.

Kapolsek Kasihan, Kompol Suwandi, yang datang di lokasi menyatakan, acara Lady Fast 2016 dibubarkan karena tidak memiliki izin, dan mengganggu kenyamanan masyarakat mengingat acara tersebut ada permainan musiknya.

“Tidak pernah izin, dia main musik, mengekspresikan seninya dan tidak pernah melakukan izin,” kata Suwandi.

Dalam pembubaran acara itu, Suwandi mengaku bersama-sama dengan Polres Bantul serta ormas Forum Umat Islam (FUI) dan Front Jihad Islam.

“Ada dari FUI dan FJI juga ada dari beberapa ormas yang lain, tujuannya untuk memberantas hal-hal yang tidak baik di wilayah ini,” katanya.

“Ini upaya kita kebetulan bersama-sama ada Polsek, Polres datang ke sini untuk menghentikan kegiatan mereka. Kebetulan rekan-rekan dari ormas yang lain bersamaan datang ke sini,” katanya.
Suara tembakan

Berdasarkan keterangan sejumlah saksi mata, terdapat satu suara tembakan ketika pihak penyelenggara sedang menjelaskan kepada polisi dan ormas yang ingin membubarkan acara Lady Fast 2016.

Yaya Ulya, wartawan Yogyakarta yang berada di lokasi kejadian, melaporkan terdapat beberapa orang yang menggunakan atribut ormas Forum Umat Islam (FUI) DIY. Mereka beberapa kali meneriakkan kalimat takbir.

"Polisi dan massa yang ada saat itu berusaha membuka paksa pintu, mereka berusaha mendobrak hingga terbuka. Setelah pintu berhasil didobrak, beberapa orang yang ada di dalam studio dibawa polisi ke Polsek Kasihan, Bantul. Sementara massa yang berkumpul di luar studio terus meneriakkan takbir beberapa kali," kata Yaya.

Tudingan komunis

Pihak penyelenggara Lady Fast 2016 menyatakan massa yang menyerbu melontarkan tudingan bahwa peserta acara adalah komunis.

Bahkan, ketika massa mendobrak pintu Survive Garage, mereka membawa kamera video dan menyoroti para perempuan di dalam rumah.

Ketika seorang peserta meminta agar mereka tidak mengambil gambar mengingat ada anak-anak yang ketakutan, salah satu penyerbu merespons dengan kalimat, "Mbak kamu maunya adu argumen atau debat? Kamu maunya apa? Kamu ini perempuan loh, gampang aku tonjok," ujarnya seraya mengulurkan tinju ke wajah peserta perempuan tersebut.

Pramilla Deva, selaku penanggung jawab acara Lady Fast 2016 mengaku tidak tahu motif penyerbuan.

Menurutnya, acara yang digelar mencakup diskusi mengenai isu-isu perempuan, lokakarya pemutaran film, dan hiburan musik.

“Intinya kami membahas mengenai beragam masalah yang dialami perempuan, seperti kiat menangani kekerasan seksual. Kami sama sekali tidak mengusung ideologi atau agama tertentu,” kata Pramilla kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.

Dia mengaku acara itu diadakan di Survive Garage, sebuah ruang komunitas seni yang berwujud rumah.

“Artinya, acara yang kami adakan berada di ruang privat, bukan ruang publik,” katanya.

Acara Lady Fast, lanjutnya, telah mendapat persetujuan dari rukun tetangga setempat dengan perjanjian acara tidak boleh diselenggarakan di atas pukul 23.00 WIB.

Peserta Lady Fast, kata Pramilla, mencapai sedikitnya 50 orang. Mereka merupakan anggota komunitas perempuan dan ada pula yang sengaja berkunjung melihat karya seni.

Kiprah ormas

Kiprah ormas yang mengatasnamakan Islam di Yogyakarta bukan kali ini terjadi. Pada Februari lalu, Pondok Pesantren Al-Fatah di Bantul yang dihuni sejumlah waria ditutup oleh Front Jihad Islam.

Camat Banguntapan, Jati Bayubroto, mengatakan alasan penutupan karena pesantren tersebut tidak memiliki izin dan bertentangan dengan nilai-nilai islami, serta pernah ditemukan miras di lokasi tersebut.

Padahal, sebelumnya kepolisian di Yogyakarta menegaskan akan memberikan jaminan keamanan bagi pesantren tersebut setelah adanya ancaman penyegelan.

Lies Marcoes-Natsir selaku pegiat perempuan dan Islam pada lembaga Rumah Kita Bersama, memandang reaksi polisi di Yogyakarta sebenarnya menunjukkan suatu pertanda.

“Ada dualisme hukum di negara ini. Pertama, hukum positif yang dibangun dari pendekatan sekuler. Lalu, selanjutnya ada kekuatan hukum primordial yang basisnya dari pandangan keagamaan. Hukum primordial ini masuk ke ruang publik dengan mengambil alih peran negara yang seharusnya tidak diperbolehkan,” kata Lies.

Jika pengambilalihan itu terus dibiarkan, lanjut Lies, menunjukkan bahwa negara mengakui ada kekuatan lain dalam hal penegakan hukum yang seharusnya menjadi wewenang negara.

“Ini negara yang berdaulat. Bagaimana mungkin sebuah kekuatan lain, apapun basis alasannya, mengambil alih peran penegakan hukum?” tanya Lies.

No comments:

Post a Comment