Pejabat Publik Gagal Jalankan Revolusi Mental

JAKARTA, Munculnya surat permintaan fasilitas saat melakukan kunjungan luar negeri adalah bentuk kegagalan pejabat publik memahami visi revolusi mental pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Sikap tersebut juga menunjukkan mentalitas para pejabat muda yang masih memelihara sifat patrimonial.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, pola pikir patrimonial masih sangat kental dimiliki pejabat publik, baik di kalangan eksekutif maupun legislatif.
Padahal, Presiden Jokowi melalui revolusi mental menginginkan pejabat publik yang melayani rakyat, bukan lagi berharap dilayani.
"Presiden sudah mencontohkan hal itu dengan membuktikan anak-anaknya tidak memanfaatkan jabatannya. Tetapi, pejabat lain masih menunjukkan mental birokrasi feodal," ujar Haris di Jakarta, Sabtu (2/4).
Oleh karena itu, Haris berharap semua instansi berbenah memperbaiki mentalitas pejabatnya.
Di sisi lain, ia berharap Presiden dan pimpinan instansi dapat mengoreksi langsung para pembantu dan anggotanya yang masih mempertahankan mentalitas lama, yaitu ingin selalu dilayani dan menyalahgunakan jabatan.
"Iklim politik kita mengalami kemunduran karena sifat patrimonial itu justru diterapkan pejabat publik yang cenderung masih muda," katanya.
Kamis (31/3) lalu, beredar surat dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) yang meminta Konsulat Jenderal RI di Sydney, Australia, menyediakan akomodasi dan transportasi bagi anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Hanura, Wahyu Dewanto Suripman dan keluarganya selama berada di Australia.
Surat serupa juga dikirimkan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Gerindra, Rachel Maryam Sayidina, yang ditujukan kepada Duta Besar RI untuk Perancis.
Terkait surat itu, Menteri PAN dan RB Yuddy Chrisnandi dengan tegas membantah bahwa surat itu terbit atas seizinnya.
Ia menyalahkan Sekretaris Kementerian PAN dan RB Dwi Wahyu Atmaji yang menandatangani dan mengirimkan surat tersebut.
Sementara Rachel Maryam mengaku mengirimkan surat tersebut. Namun, ia menolak disebut meminta fasilitas selama berkunjung ke Paris.
"Surat itu benar saya yang buat untuk permintaan dicarikan kendaraan. Namun, semua konsekuensi biaya perjalanan selama di Paris saya tanggung sendiri," ujar Rachel.
Budaya malu
Beredarnya surat katebelece menunjukkan bahwa budaya malu masih jauh dari perilaku pejabat publik Indonesia.
Presiden semestinya menindak tegas pembantu yang tak memiliki etika publik.
Partai politik pun diharapkan mendisiplinkan kadernya sebab parpol harus membuktikan komitmen penyelenggaraan tata kelola yang bersih.
"Secara etika politik, jelas tidak pantas. Pejabat seharusnya meminggirkan kepentingan personal karena otoritasnya terkait dengan hal yang bersifat publik," kata pengajar Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi.
Pengajar etika pemerintahan Universitas Padjadjaran, Bandung, Franciscus van Ylst, menambahkan, budaya malu sebagai bagian dari pemahaman etika publik belum menyatu dengan perilaku.
"Kalau ditanyakan, sebenarnya mereka tahu teorinya, tetapi saat kebutuhan di depan mata, ya kenapa tidak," ujarnya.
Lebih lanjut, menurut Franciscus, saat ini etika publik belum dipraktikkan secara sadar. Hal ini terjadi akibat sistem perekrutan pejabat masih dilakukan secara apa adanya. (

No comments:

Post a Comment