Shandra berbicara dalam sebuah konferensi pers bersama anggota Kongres Ted Poe dan Carolyn Maloney.
NEW YORK, Saat Shandra Woworuntu menginjakkan kakinya di Amerika Serikat (AS), ia berharap bisa memulai karier baru di industri perhotelan.
Namun, ia justru dijerumuskan ke dunia prostitusi dan perbudakan seks, dipaksa mengonsumsi obat-obatan, dan mengalami kekerasan.
Setelah berhasil kabur, polisi mengabaikan laporannya. Konsulat RI juga menolak memberinya bantuan hingga ia jadi gelandangan. Kisah ini mungkin akan tak tertahankan bagi sebagian pembaca.
***
Saya tiba di AS pada minggu pertama Juni 2001. Bagi saya, Amerika adalah sebuah tempat yang menjanjikan dan memberikan peluang.
Saat saya melangkah menuju imigrasi, saya merasa senang berada di sebuah negara baru, meskipun secara ganjil terasa akrab juga karena sudah mendapat gambaran dari yang dilihat di televisi dan film-film.
Di bagian kedatangan, saya mendengar nama saya dipanggil. Saya melihat seorang pria yang tengah memegang sebuah plakat dengan foto saya. Bukan soal foto yang saya pedulikan.
Agen penyalur kerja di Indonesia menyuruh saya mengenakan pakaian yang terbuka, tank top atau kaus tanpa lengan. Orang yang memegang plakat itu tersenyum hangat. Namanya Johnny, dan saya menyangka ia akan mengantarkan saya ke hotel tempat saya akan bekerja nanti.
Pada kenyataannya, hotel itu berada di Chicago. Sementara itu, saya tiba di Bandara John F Kennedy (JFK) di New York yang jaraknya hampir 1.250 kilometer. Ini menunjukkan betapa naifnya saya.
Analis keuangan
Saya berumur 24 tahun kala itu dan tidak tahu dunia apa yang saya masuki ini. Usai lulus universitas di bidang keuangan, saya bekerja pada sebuah bank internasional di Indonesia sebagai seorang analis keuangan dan perdagangan.
Pada tahun 1998, Indonesia dilanda krisis keuangan yang menerjang Asia, dan tahun berikutnya Indonesia jatuh ke dalam kekacauan politik. Lalu, saya pun kehilangan pekerjaan.
Saya mulai mencari pekerjaan di luar negeri untuk menghidupi putri saya yang berusia tiga tahun. Waktu itu, saya melihat sebuah iklan di sebuah surat kabar yang mencari peminat untuk bekerja di industri perhotelan di hotel-hotel besar di AS, Jepang, Hongkong, dan Singapura.
Saya memilih tujuan AS, dan melamar. Persyaratan yang harus saya penuhi adalah bisa berbicara sedikit bahasa Inggris dan membayar biaya sebesar Rp 30 juta (tahun 2001). Proses perekrutan begitu panjang dengan banyak wawancara.
Sebagai persyaratan lain, mereka juga meminta saya untuk menunjukkan cara berjalan, naik turun tangga, dan tersenyum.
"Layanan pelanggan adalah kunci untuk pekerjaan ini," demikian yang diberitahukan kepada saya saat itu.
Saya menjalani semua tes dan lulus, lalu saya mengambil pekerjaan itu.
Rencananya, ibu dan kakak saya yang akan merawat gadis kecil saya saat saya bekerja di luar negeri selama enam bulan, dengan penghasilan 5.000 dollar AS per bulan (atau sekitar Rp 66 juta). Setelahnya, saya akan pulang untuk membesarkan putri saya.
Segalanya mulai aneh
Saya tiba di Bandara JFK di New York bersama empat perempuan lainnya dan seorang pria, lalu kami dibagi menjadi dua kelompok. Johnny mengambil semua dokumen saya, termasuk paspor saya, lalu ia membawa saya dan dua wanita lainnya masuk ke dalam mobilnya.
Itu adalah saat ketika segalanya mulai tampak aneh.
Sopir menempuh jalan pintas ke Flushing di Queens sebelum kemudian mengarah ke sebuah tempat parkir dan menghentikan kendaraannya. Johnny mengatakan kepada kami bertiga untuk keluar dan masuk ke mobil lain dengan sopir yang berbeda pula.
Kami melakukan apa yang diperintahkan. Melalui jendela mobil, saya melihat Johnny memberi uang kepada sopir yang baru. Saya pikir, "Ada yang tidak beres di sini."
Namun, saya kembali berkata kepada diri sendiri untuk tidak khawatir bahwa memang seperti itulah mestinya cara jaringan hotel berbisnis dengan perusahaan yang mereka gunakan untuk menjemput orang dari bandara.
Sopir baru pun tidak membawa kami terlalu jauh. Ia malah memarkir kendaraan di halaman sebuah restoran. Lagi-lagi, kami harus keluar dari mobil dan pindah ke mobil lain, setelah memberi uang kepada sopir lain.
Kemudian, sopir ketiga membawa kami ke sebuah rumah, dan kami diserah-terimakan lagi.
Sopir keempat ini membawa pistol. Ia memaksa kami untuk masuk ke dalam mobil dan membawa kami ke sebuah rumah di Brooklyn, lalu ia mengetuk pintu, memanggil "Mama-san! Gadis baru!"
Pada saat itu saya langsung panik karena saya tahu 'Mama-san' berarti mami-mami germo rumah bordil. Namun, kami tidak bisa apa-apa karena ditodong pistol.
Pintu terbuka dan saya melihat seorang gadis kecil, mungkin usia 12 tahun atau 13 tahun, tergeletak di lantai.
Ia berteriak saat sekelompok pria menendangnya bergantian. Darah terlihat mengalir dari hidungnya. Ia melolong, dan menjerit kesakitan. Salah satu pria tersenyum dan mulai memainkan tongkat bisbol di depan saya, seolah-olah itu adalah peringatan.
Sangat ketakutan
Hanya beberapa jam setelah kedatangan saya di AS, saya dipaksa untuk melakukan hubungan seksual.
Saya sangat ketakutan, tetapi sesuatu tebersit di pikiran saya, semacam naluri untuk bertahan hidup. Saya mempelajarinya saat menyaksikan tindak kekerasan pertama.
Keesokan harinya, Johnny muncul dan meminta maaf panjang lebar atas segala yang telah terjadi pada kami setelah berpisah. Ia mengatakan, pasti ada kekeliruan.
Hari itu, kami akan difoto untuk kartu identitas. Kami akan dijemput untuk membeli seragam dan kemudian kami akan pergi ke hotel di Chicago untuk mulai bekerja.
"Kita akan baik-baik saja," katanya, sambil mengusap punggung saya. "Hal ini tidak akan terjadi lagi." Saya percaya kepadanya.
Setelah hal-hal buruk yang baru saja saya alami, ia seperti malaikat bagi saya. "Oke," kata saya. "Mimpi buruk sudah berakhir. Sekarang saya akan pergi ke Chicago untuk memulai pekerjaan saya."
Seorang pria datang dan membawa kami ke sebuah studio foto, untuk difoto, kemudian ia mengantar kami ke sebuah toko untuk membeli seragam. Namun, ternyata, itu adalah sebuah toko lingerie, yang dipenuhi pakaian-pakaian seksi yang terlihat minim, berenda, sesuatu yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Pakaian-pakaian yang bukanlah "seragam".
Lucu juga mengingat kembali kejadian itu. Saya tahu saya sedang dibohongi dan situasi saya penuh bahaya. Saya ingat saat melihat sekeliling toko itu, bertanya-tanya jika saya bisa menyelinap pergi, menghilang.
Namun, saya takut dan saya tidak kenal siapa pun di AS. Saya pun enggan untuk meninggalkan dua perempuan Indonesia lainnya. Saya kembali dan melihat mereka cukup menikmati kesempatan berbelanja itu.
Lalu, saya menoleh kepada pengawal saya. Ia menyembunyikan senjatanya dan tengah memperhatikan saya. Gerakan tubuhnya mengisyaratkan kepada saya untuk tidak coba-coba melakukan sesuatu.
Pada hari itu, kelompok kami berpisah dan hanya sesekali saya melihat dua perempuan itu lagi. Saya dibawa pergi dengan mobil, bukan ke Chicago, melainkan ke sebuah tempat para sindikat penjualan orang yang memaksa saya untuk melakukan kegiatan seksual.
Pakai lencana polisi
Para penyelundup manusia itu berasal dari Indonesia, Taiwan, Malaysia, China, dan Amerika. Hanya dua dari mereka yang bisa berbicara bahasa Inggris. Sebagian besar mereka hanya akan menggunakan bahasa tubuh, mendorong-dorong, dan menggunakan kata-kata kasar.
Satu hal yang paling membuat saya bingung dan ketakutan malam itu, dan terus membebani saya pada minggu-minggu berikutnya, adalah bahwa salah satu dari mereka memiliki lencana polisi. Sampai hari ini, saya tidak tahu apakah ia benar-benar seorang polisi.
Mereka bilang saya berutang kepada mereka sebesar 30.000 dollar AS (sekitar Rp 400 juta dengan kurs sekarang). Saya harus mengangsur utang senilai 100 dollar setiap kali melayani seorang pria.
Selama berminggu-minggu dan bulan-bulan berikutnya, saya dibawa pergi pulang ke rumah bordil yang berbeda-beda, apartemen-apartemen, hotel-hotel, dan kasino-kasino di Pantai Timur.
Saya jarang berada di tempat yang sama dalam dua hari, dan saya tidak pernah tahu di mana saya berada atau ke mana saya pergi.
Rumah-rumah bordil ini tampak seperti rumah-rumah biasa dari luar, dan ada diskotek di dalamnya dengan lampu kelap-kelip dan musik ingar-bingar. Kokain, sabu, dan ganja diletakkan di atas meja.
Narkoba dan senjata
Para bandit itu menyuruh saya mengonsumsi narkoba di bawah todongan senjata, dan mungkin itu yang bisa membuat saya bisa mengatasi paksaan seksual itu.
Siang dan malam, saya hanya minum bir dan wiski karena hanya minuman itu yang ditawarkan. Saya tidak tahu waktu itu bahwa di Amerika kita bisa minum air keran.
Selama dua puluh empat jam dalam sehari, kami gadis-gadis menghabiskan waktu dengan duduk-duduk, dalam keadaan benar-benar telanjang, menunggu para pelanggan.
Jika tidak ada yang datang, maka kami bisa tidur sebentar, meskipun tidak pernah di ranjang. Namun, masa-masa sepi pelanggan seperti ini juga merupakan saat yang digunakan para penyelundup manusia itu untuk memerkosa kami.
Jadi, kami harus tetap waspada. Tidak ada yang bisa ditebak.
Meski saya menjaga kewaspadaan, saya seakan mati rasa, dan tidak bisa menangis. Diliputi kesedihan, kemarahan, kekecewaan, saya hanya bisa melakukan apa yang telah diperintahkan, dan berusaha keras untuk bertahan hidup.
Saya ingat saat melihat gadis kecil yang dipukuli, dan saya juga melihat para penjahat itu menyakiti perempuan lainnya jika mereka membuat masalah atau menolak melakukan hubungan seksual. Pistol, pisau, dan pemukul bisbol menjadi alat yang digunakan silih berganti.
Mereka memberi saya julukan "Candy". Semua perempuan yang diperdagangkan berasal dari Asia. Selain dari Indonesia, ada juga gadis-gadis dari Thailand, China, dan Malaysia.
Ada pula para wanita yang bukan merupakan budak seks. Mereka adalah pelacur yang mencari penghasilan, dan tampaknya bisa bebas untuk datang dan pergi.
Hampir setiap malam, sekitar tengah malam, salah seorang anggota sindikat membawa saya ke sebuah kasino. Mereka akan mendandani saya supaya terlihat bagai putri.
Mucikari saya akan memakai setelan hitam dan sepatu hitam mengilat. Ia berjalan diam-diam di samping saya seperti pengawal saya, sambil menodongkan pistol ke punggung saya setiap waktu. Kami tidak melewati lobi, tetapi melalui pintu masuk staf dan lift khusus untuk layanan binatu.
Saya ingat saat kali pertama diantar ke kamar hotel kasino. Saya pikir mungkin saya bisa lari. Namun, rupanya, salah seorang anggota sindikat menunggu saya di koridor. Ia menunjukkan arah ke kamar sebelah, lalu kamar berikutnya, dan seterusnya.
Saya berada di setiap kamar selama empat puluh lima menit, malam demi malam. Mucikari selalu menunggu di balik pintu kamar.
Saya selalu patuh, makanya saya tidak pernah dipukuli oleh para mucikari. Para pelanggan sangat kejam. Beberapa dari mereka tampak seperti anggota mafia Asia, tetapi ada juga orang kulit putih, orang kulit hitam, dan orang-orang Hispanik.
Ada orang-orang tua dan mahasiswa. Saya adalah milik mereka selama 45 menit dan saya harus melakukan apa yang mereka katakan, kalau tidak mereka akan menyakiti saya.
Sungguh menyakitkan
Apa yang saya alami sungguh berat menyakitkan. Secara fisik, saya lemah. Para mucikari hanya memberi saya makan sup, nasi, dan acar.
Saya lebih sering mengonsumsi obat-obatan. Ancaman kekerasan yang terus-menerus, dan keharusan tetap waspada, itu juga sangat melelahkan.
Satu-satunya yang menjadi milik saya—di luar "seragam" yang saya kenakan—adalah sebuah tas kecil, yang berisi kamus, sebuah Alkitab kecil, dan ada beberapa bolpoin, juga buku-buku permainan yang saya curi dari kamar hotel, dengan nama-nama kasino di dalamnya.
Saya juga menyimpan sebuah buku harian, sesuatu yang saya lakukan sejak saya masih kecil.
Saya menulis dalam bahasa campuran Indonesia, Inggris, Jepang, dan simbol-simbol. Saya mencoba untuk mencatat apa yang sudah saya lakukan, ke mana saya pergi, berapa orang yang sudah bersama saya, dan tanggal berapa.
Saya melakukannya sebisa mungkin, meskipun hal itu sulit karena saya tidak bisa membedakan siang atau malam jika sudah berada di dalam rumah bordil.
Saya selalu berpikir untuk melarikan diri, tetapi peluangnya sangat langka.
Pada suatu malam, saya disekap di sebuah loteng rumah bordil di Connecticut. Kamarnya memiliki jendela yang bisa saya buka, lalu seprai dan pakaian saya susun menjadi tali, lalu mengikatnya ke kusen jendela, saya mencoba turun menggunakan tali.
Begitu saya sampai di ujung tali, jarak antara tali dan tanah masih terlalu jauh. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali memanjat lagi.
Lalu, suatu hari, saya dibawa ke rumah bordil di Brooklyn, tempat saya kali pertama menginjakkan kaki di Amerika Serikat. Saya bersama seorang gadis Indonesia berumur 15 tahun bernama Nina, dan kami pun menjadi teman. Ia adalah seorang gadis cantik dan manis dan selalu bersemangat.
Sekali waktu, Nina menolak untuk melakukan apa yang diperintahkan, lalu mucikari memelintir tangannya. Ia berteriak kesakitan.
Pria Indonesia
Kami mengobrol dengan perempuan lain yang berada di rumah bordil itu. Ia merupakan "pelacur kelas atas", yang artinya ia memimpin kami. Ia bersikap baik, dan mengatakan kalau kami bisa keluar dari rumah bordil, kami harus menghubungi seorang pria ini.
Dikatakan, pria itu yang akan mencarikan kami pekerjaan yang layak, dan kami bisa menghemat uang untuk pulang. Saya mencatat nomornya dalam secarik kertas dan menyimpannya.
Saat ia tengah membicarakan soal utang kami sebesar 30.000 dollar AS yang harus kami lunasi kepada para mucikari, saya mulai panik. Saya yakin saya akan mati sebelum saya bisa melayani 300 pria. Saya memejamkan mata dan berdoa semoga ada yang bisa menolong.
Tidak lama setelah itu, di kamar mandi, saya melihat sebuah jendela kecil. Sekrupnya tertutup, tetapi Nina dan saya berupaya membukanya, dan tangan saya gemetar. Saya menggunakan sendok untuk membuka selot secepat mungkin.
Kemudian, kami memanjat lewat jendela dan melompat turun di sisi lain. Kami menelepon nomor yang diberikan perempuan itu, dan seorang pria Indonesia terdengar menjawab telepon kami. Sama seperti yang dikatakan perempuan tadi, ia berjanji untuk membantu kami.
Kami sangat bersemangat. Dia bertemu kami dan membayar biaya menginap di sebuah hotel, lalu ia berkata agar kami menunggu di sana sampai dia bisa menemukan pekerjaan untuk kami.
Ia mengurus kami, membelikan kami makanan, pakaian, dan lain-lain. Namun, setelah beberapa minggu, dia menyuruh kami tidur dengan sejumlah pria di hotel.
Lalu, ketika kami menolak, ia pun menelepon Johnny untuk datang dan menjemput kami. Ternyata, ia juga merupakan anggota sindikat lainnya. Pria itu, pelacur kelas atas, dan yang lainnya rupanya bekerja sama.
Konsulat RI tak membantu
Di dekat hotel, sebelum Johnny tiba, saya berhasil kabur dari mucikari baru saya dan melarikan diri ke jalan, hanya memakai sandal dan tidak membawa apa-apa kecuali dompet. Saya berbalik, dan berteriak kepada Nina yang mengikuti saya. Mucikari memegangnya erat.
Saya bisa mencapai sebuah kantor polisi dan menceritakan semuanya kepada salah seorang petugas polisi. Ia tidak memercayai saya dan menolak saya. Jauh lebih aman untuk saya, kata dia, untuk kembali di jalanan tanpa uang atau dokumen.
Dalam keadaan putus asa untuk mencari bantuan, saya mendekati dua petugas polisi lainnya di jalan dan mendapat respons yang sama.
Lalu, saya pergi ke Konsulat Indonesia untuk mencari bantuan mendapatkan dokumen-dokumen, seperti paspor, dan bantuan lain.
Saya tahu, mereka memiliki ruangan bagi orang untuk bisa tidur dalam keadaan darurat. Namun, mereka juga tidak membantu saya.
Saya marah dan jengkel. Saya tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Saya datang ke Amerika Serikat saat musim panas, dan saat itu tengah menuju musim dingin, dan saya kedinginan.
Saya terpaksa tidur di stasiun kereta api bawah tanah di New York, Staten Island Ferry, dan di Times Square.
Saya mengemis makanan dari orang-orang yang berlalu lalang. Setiap ada kesempatan, saya menceritakan kisah saya kepada mereka. Saya katakan bahwa ada sebuah rumah di sekitar wilayah itu yang menyekap sejumlah perempuan, dan mereka membutuhkan bantuan.
Eddy dan FBI
Hingga pada suatu hari, ketika saya berada di Grand Ferry Park di Williamsburg, seorang pria bernama Eddy membelikan saya makanan. Ia berasal dari Ohio. Ia merupakan seorang pelaut yang tengah berlibur.
"Kembalilah besok saat siang hari (noon)," katanya, setelah saya menceritakan kisah saya.
Saya sangat senang. Saya tidak berhenti untuk menanyakan apa yang ia maksud dengan kata "noon". Yang saya tahu saat sekolah, "noon" bisa jadi "menjelang sore". Saya menebak kata "noon" di sini adalah kata lain untuk "pagi". Jadi, esok harinya saya datang lebih pagi ke tempat yang sama di taman itu, dan menunggu datangnya Eddy selama beberapa jam.
Akhirnya, ia datang, dan mengatakan sudah menelepon dan berbicara dengan FBI, lalu FBI telah menelepon kantor polisi. Kami langsung pergi ke pos polisi. Di sana sudah ada para petugas yang mencoba membantu saya.
Jadi, Eddy mengantarkan saya dengan mobilnya ke sana, dan dua detektif menanyai saya panjang lebar. Saya menunjukkan buku harian saya kepada mereka dengan rincian lokasi pelacuran, dan buku-buku pemainan dari kasino tempat saya telah dipaksa untuk bekerja.
Mereka menelepon maskapai penerbangan dan imigrasi, dan mereka sudah mengecek laporan saya.
"Oke," kata mereka akhirnya. "Apakah Anda siap untuk pergi?"
"Pergi ke mana?" tanya saya.
"Menjemput teman-teman Anda," kata mereka.
Lalu, saya masuk mobil polisi dan kami melaju ke rumah bordil di Brooklyn itu. Saya lega, saya bisa menemukannya lagi.
Rasanya seperti sebuah adegan dalam sebuah film. Mobil diparkir, dan saya melihat ke luar jendela. Di luar rumah bordil, ada polisi yang menyamar berpura-pura menjadi tunawisma. Saya ingat salah satu dari mereka mendorong troli belanja.
Kemudian, ada banyak detektif, polisi bersenjata, tim SWAT, dan para penembak jitu bersembunyi di dekatnya.
Kendati saya menikmatinya sekarang, tetapi saat itu saya merasa sangat tegang, dan khawatir jika saat polisi memasuki bangunan itu justru tidak menemukan apa pun di sana pada malam itu. Akankah mereka berpikir saya telah berbohong? Akankah saya yang akan masuk penjara, dan bukan orang yang menganiaya saya?
Seorang petugas polisi berpakaian sipil dan menyamar sebagai pelanggan. Ia menekan bel rumah bordil. Saya melihat Johnny muncul di ambang pintu, dan, setelah berbicara singkat, ia membuka jeruji logam. Dia langsung dipaksa kembali ke dalam ruang yang gelap.
Dalam hitungan detik, seluruh tim polisi sudah berada di anak tangga dan masuk ke dalam rumah itu. Tidak ada satu pun tembakan yang dilepaskan.
Satu jam telah berlalu. Mereka mengatakan, saya bisa keluar dari mobil dan mendekati rumah bordil. Mereka sudah menutupi salah satu jendela dengan kertas lalu melubanginya supaya saya bisa melihat ke dalam.
Momen terhebat dalam hidup
Dengan cara seperti ini, saya bisa mengenali Johnny dan para perempuan yang bekerja di rumah bordil itu tanpa bisa terlihat. Ada tiga perempuan di sana. Nina berada di antara mereka.
Ketika saya melihat perempuan-perempuan itu keluar dari bangunan itu, telanjang dan hanya berbalut handuk, itu adalah momen terhebat dalam hidup saya.
Melahirkan adalah sebuah keajaiban, ya, tetapi tidak ada yang bisa membandingkan emosi yang saya alami ketika melihat teman-teman mendapatkan lagi kebebasan mereka.
Dalam kilatan lampu biru dan merah dari mobil-mobil polisi, kami menari, berteriak, menjerit kegirangan!
Johnny didakwa dan akhirnya ditahan, seperti dua pria lainnya yang ditangkap pada hari-hari berikutnya. Kendati begitu, saya masih membutuhkan dukungan, dan kesempatan untuk menyembuhkan diri.
FBI menghubungkan saya dengan Safe Horizon, sebuah organisasi di New York yang membantu korban-korban kejahatan dan pelecehan, termasuk korban perdagangan manusia.
Mereka membantu saya untuk tinggal di AS secara legal, memberi saya tempat tinggal, dan menghubungkan saya dengan lembaga-lembaga yang bisa mengusahakan pekerjaan.
Saya bisa kembali ke keluarga saya di Indonesia. Namun, FBI memerlukan kesaksian saya untuk menghadapi para sindikat perdagangan manusia, dan saya benar-benar menginginkan mereka dipenjara. Ternyata, prosesnya memakan waktu selama bertahun-tahun.
Di Indonesia, para sindikat datang mencari saya di rumah ibu saya. Ibu dan putri saya harus bersembunyi. Orang-orang itu sudah lama mencari saya.
Bahaya besar mengancam putri saya. Namun, akhirnya, Pemerintah AS dan Safe Horizon mempertemukan kami kembali pada tahun 2004, setelah mengizinkan putri saya untuk terbang ke Amerika.
Boleh menetap di AS
Sebagai imbalan karena telah membantu pemerintah, pada tahun 2010, saya diberi izin untuk menetap di AS. Pada saat itu, mereka bilang saya bisa memilih nama baru untuk keselamatan saya sendiri.
Saya memutuskan untuk tetap memakai nama lama Shandra Woworuntu. Ini nama saya. Para sindikat itu telah mengambil semua yang saya miliki, lalu mengapa saya harus menyerah dengan mengganti nama?
Beberapa tahun setelah pelarian, saya mulai merasakan rasa sakit dan mati rasa pada persendian. Saya mengalami masalah di kulit dan sakit migren parah.
Setelah melalui banyak tes, para dokter menyarankan saya untuk menemui psikiater atas hal yang sudah saya alami.
Meski sudah 15 tahun berlalu, saya masih kesulitan tidur malam. Hubungan dengan pria pun masih jauh dari normal. Saya masih mengunjungi terapis setiap minggu, dan psikiater setiap dua minggu sekali, untuk memperoleh obat-obat anti-depresan.
Saya masih teringat masa lalu, sepanjang waktu. Bau wiski membuat saya muntah. Jika saya mendengar nada dering tertentu, bunyi telepon genggam mucikari saya, tubuh saya menegang disertai rasa takut.
Wajah-wajah di keramaian begitu menakutkan. Bayangan-bayangan itu muncul sesaat. Saya hancur berkeping-keping.
Jika Anda menghabiskan waktu dengan saya, Anda akan melihat saya sering memainkan cincin di jari saya untuk menenangkan diri. Saya memakai karet gelang di lengan saya, saya terus-menerus menjepretkan benda itu, dan syal yang saya pakai juga akan diputar-putar.
Sepertinya, kebahagiaan menjauh dari saya, dan mungkin akan selalu begitu. Saya sudah bisa berdamai dengan masa lalu saya.
Saya suka menyanyi dalam paduan suara, dan membesarkan anak-anak adalah sesuatu yang sangat menyembuhkan. Gadis kecil saya sudah tumbuh menjadi seorang remaja, dan saya juga memiliki putra berusia sembilan tahun.
Membantu korban lain
Saya sudah memutuskan untuk melakukan semua yang saya bisa untuk membantu para korban perbudakan lainnya. Saya memulainya dengan sebuah organisasi, Mentari, yang membantu korban-korban berbaur ke dalam masyarakat, dan menghubungkan mereka ke pasar kerja.
Pada saat yang sama, kami mencoba untuk meningkatkan kesadaran tentang risiko datang ke AS kepada orang-orang yang masih melihat negara ini sebagai tanah impian. Setiap tahun, sebanyak 17.000 sampai 19.000 orang dibawa ke AS untuk diperdagangkan.
Tahun lalu, kami membantu menerbitkan sebuah buku komik pendidikan tentang masalah ini di Indonesia.
Kami juga menyumbangkan peternakan ayam dan bibitnya sehingga kalangan orang-orang tidak mampu bisa beternak ayam untuk dijual dan dimakan, jadi mereka tidak merasa harus menjual anak-anak mereka kepada sindikat penjualan manusia.
Tidak semua korban perdagangan itu berasal dari kalangan orang-orang miskin. Beberapa di antaranya, seperti saya, memiliki gelar sarjana.
Saya membantu seorang dokter dan guru dari Filipina. Tidak hanya kaum perempuan, saya juga telah membantu kaum lelaki yang diperdagangkan, dan bahkan ada satu orang yang berusia 65 tahun.
Saya menuturkan pengalaman saya di gereja-gereja, sekolah-sekolah, universitas, dan lembaga-lembaga pemerintah.
Saat kali pertama usai menceritakan kisah saya, konsulat Indonesia mendekati saya, bukan untuk meminta maaf, melainkan untuk meminta saya menarik kembali pernyataan saya tentang penolakan mereka untuk membantu saya.
Maaf, itu sudah terlambat. Itu sudah beredar di luar sana. Saya tidak bisa berpura-pura atas apa yang telah terjadi.
Pemerintah Indonesia tak peduli
Bahkan setelah media memberitakan kasus saya, Pemerintah Indonesia tidak merasa perlu menghubungi saya, mengecek keadaan saya, apakah baik-baik saja atau membutuhkan bantuan.
Selain bekerja dengan kelompok-kelompok masyarakat, saya juga membahas masalah ini dengan Pemerintah Meksiko, dan tahun lalu saya bersaksi di depan Senat AS.
Saya meminta kepada para senator agar menetapkan undang-undang (UU) untuk memastikan bahwa para pekerja yang direkrut dari luar negeri mengetahui hak-hak mereka, tidak dikenakan biaya, diberi tahu soal gaji, dan kondisi hidup yang bisa mereka harapkan di AS.
Saya senang bisa mengatakan bahwa sejak itu peraturan diubah, dan agen-agen perekrutan di luar negeri harus mendaftar ke departemen tenaga kerja sebelum mereka beroperasi.
Saya juga melobi Senat, atas nama National Survivor Network, untuk menempatkan para korban perdagangan manusia dalam peran yang bisa memberikan dampak langsung pada kebijakan.
Bertemu di Gedung Putih
UU The Survivors of Human Trafficking Empowerment telah melaksanakannya. Saya merasa terhormat untuk mengatakan, pada Desember 2015, saya diminta bergabung dengan sebuah dewan baru. Kami bertemu untuk kali pertama pada Januari, di Gedung Putih.
Kita sangat perlu mendidik rakyat Amerika tentang subyek ini. Menengok kembali pengalaman saya sendiri, saya pikir semua orang yang bekerja di kasino dan hotel pasti tahu apa yang sedang terjadi.
Rumah bordil yang ada di Brooklyn merupakan wilayah permukiman, apakah para tetangga di sekelilingnya tidak pernah berhenti untuk bertanya mengapa seolah tak ada habisnya orang datang ke rumah tersebut, siang dan malam?
Masalahnya adalah, orang-orang melihat perempuan-perempuan yang diperdagangkan ini sebagai pelacur, dan bukan sebagai korban, melainkan sebagai penjahat. Di kota-kota besar, orang-orang menutup mata atas segala macam tindak kejahatan seperti ini.
Kita mungkin bisa memulai dengan memenjarakan para pria yang telah membayar untuk berhubungan seks. Setelah rumah bordil di Brooklyn digerebek dan banyak para pembeli seks ditanyai, kemudian semuanya malah dibebaskan.
Kini, pria yang tertangkap basah dikirim untuk menjalani pembinaan satu hari yang disebut John School. Ini bukanlah hukuman, melainkan mengajarkan mereka cara untuk mengidentifikasi anak-anak di rumah bordil, dan hal-hal mengenai perempuan yang dipaksa untuk menjadi pekerja seks.
Bagus, tetapi belum cukup. Saya pikir, nama orang-orang yang membayar untuk berhubungan seks dengan para wanita atau pria yang diperdagangkan harus dipublikasikan, seperti orang-orang yang melakukan pelecehan terhadap anak-anak dan predator seksual.
Saya masih berteman dekat dengan Nina, yang baru-baru ini menginjak usia 30 tahun. Selama bertahun-tahun, saya memiliki nomor telepon Eddy, orang yang melapor kepada FBI atas nama saya, ketika saya putus asa.
Pada tahun 2014, sekitar hari Natal, saya memutar nomor telepon. Saya akan bercerita tentang semua yang telah terjadi pada saya, tetapi ia memotong omongan saya dan mengatakan, "Saya tahu semua. Saya mengikuti berita-beritanya. Saya sangat senang, Anda telah berhasil."
Lalu ia berkata, "Tidak usah mengucapkan terima kasih kepada saya. Anda sendiri yang telah melakukan semua itu."
Saya tetap ingin mengucapkan terima kasih, Eddy, karena sudah mendengarkan kisah saya hari itu di taman, dan membantu saya memulai lagi hidup saya.
Setelah berhasil kabur, polisi mengabaikan laporannya. Konsulat RI juga menolak memberinya bantuan hingga ia jadi gelandangan. Kisah ini mungkin akan tak tertahankan bagi sebagian pembaca.
***
Saya tiba di AS pada minggu pertama Juni 2001. Bagi saya, Amerika adalah sebuah tempat yang menjanjikan dan memberikan peluang.
Saat saya melangkah menuju imigrasi, saya merasa senang berada di sebuah negara baru, meskipun secara ganjil terasa akrab juga karena sudah mendapat gambaran dari yang dilihat di televisi dan film-film.
Di bagian kedatangan, saya mendengar nama saya dipanggil. Saya melihat seorang pria yang tengah memegang sebuah plakat dengan foto saya. Bukan soal foto yang saya pedulikan.
Agen penyalur kerja di Indonesia menyuruh saya mengenakan pakaian yang terbuka, tank top atau kaus tanpa lengan. Orang yang memegang plakat itu tersenyum hangat. Namanya Johnny, dan saya menyangka ia akan mengantarkan saya ke hotel tempat saya akan bekerja nanti.
Pada kenyataannya, hotel itu berada di Chicago. Sementara itu, saya tiba di Bandara John F Kennedy (JFK) di New York yang jaraknya hampir 1.250 kilometer. Ini menunjukkan betapa naifnya saya.
Analis keuangan
Saya berumur 24 tahun kala itu dan tidak tahu dunia apa yang saya masuki ini. Usai lulus universitas di bidang keuangan, saya bekerja pada sebuah bank internasional di Indonesia sebagai seorang analis keuangan dan perdagangan.
Pada tahun 1998, Indonesia dilanda krisis keuangan yang menerjang Asia, dan tahun berikutnya Indonesia jatuh ke dalam kekacauan politik. Lalu, saya pun kehilangan pekerjaan.
Saya mulai mencari pekerjaan di luar negeri untuk menghidupi putri saya yang berusia tiga tahun. Waktu itu, saya melihat sebuah iklan di sebuah surat kabar yang mencari peminat untuk bekerja di industri perhotelan di hotel-hotel besar di AS, Jepang, Hongkong, dan Singapura.
Saya memilih tujuan AS, dan melamar. Persyaratan yang harus saya penuhi adalah bisa berbicara sedikit bahasa Inggris dan membayar biaya sebesar Rp 30 juta (tahun 2001). Proses perekrutan begitu panjang dengan banyak wawancara.
Sebagai persyaratan lain, mereka juga meminta saya untuk menunjukkan cara berjalan, naik turun tangga, dan tersenyum.
"Layanan pelanggan adalah kunci untuk pekerjaan ini," demikian yang diberitahukan kepada saya saat itu.
Saya menjalani semua tes dan lulus, lalu saya mengambil pekerjaan itu.
Rencananya, ibu dan kakak saya yang akan merawat gadis kecil saya saat saya bekerja di luar negeri selama enam bulan, dengan penghasilan 5.000 dollar AS per bulan (atau sekitar Rp 66 juta). Setelahnya, saya akan pulang untuk membesarkan putri saya.
Segalanya mulai aneh
Saya tiba di Bandara JFK di New York bersama empat perempuan lainnya dan seorang pria, lalu kami dibagi menjadi dua kelompok. Johnny mengambil semua dokumen saya, termasuk paspor saya, lalu ia membawa saya dan dua wanita lainnya masuk ke dalam mobilnya.
Itu adalah saat ketika segalanya mulai tampak aneh.
Sopir menempuh jalan pintas ke Flushing di Queens sebelum kemudian mengarah ke sebuah tempat parkir dan menghentikan kendaraannya. Johnny mengatakan kepada kami bertiga untuk keluar dan masuk ke mobil lain dengan sopir yang berbeda pula.
Kami melakukan apa yang diperintahkan. Melalui jendela mobil, saya melihat Johnny memberi uang kepada sopir yang baru. Saya pikir, "Ada yang tidak beres di sini."
Namun, saya kembali berkata kepada diri sendiri untuk tidak khawatir bahwa memang seperti itulah mestinya cara jaringan hotel berbisnis dengan perusahaan yang mereka gunakan untuk menjemput orang dari bandara.
Sopir baru pun tidak membawa kami terlalu jauh. Ia malah memarkir kendaraan di halaman sebuah restoran. Lagi-lagi, kami harus keluar dari mobil dan pindah ke mobil lain, setelah memberi uang kepada sopir lain.
Kemudian, sopir ketiga membawa kami ke sebuah rumah, dan kami diserah-terimakan lagi.
Sopir keempat ini membawa pistol. Ia memaksa kami untuk masuk ke dalam mobil dan membawa kami ke sebuah rumah di Brooklyn, lalu ia mengetuk pintu, memanggil "Mama-san! Gadis baru!"
Pada saat itu saya langsung panik karena saya tahu 'Mama-san' berarti mami-mami germo rumah bordil. Namun, kami tidak bisa apa-apa karena ditodong pistol.
Pintu terbuka dan saya melihat seorang gadis kecil, mungkin usia 12 tahun atau 13 tahun, tergeletak di lantai.
Ia berteriak saat sekelompok pria menendangnya bergantian. Darah terlihat mengalir dari hidungnya. Ia melolong, dan menjerit kesakitan. Salah satu pria tersenyum dan mulai memainkan tongkat bisbol di depan saya, seolah-olah itu adalah peringatan.
Sangat ketakutan
Hanya beberapa jam setelah kedatangan saya di AS, saya dipaksa untuk melakukan hubungan seksual.
Saya sangat ketakutan, tetapi sesuatu tebersit di pikiran saya, semacam naluri untuk bertahan hidup. Saya mempelajarinya saat menyaksikan tindak kekerasan pertama.
Keesokan harinya, Johnny muncul dan meminta maaf panjang lebar atas segala yang telah terjadi pada kami setelah berpisah. Ia mengatakan, pasti ada kekeliruan.
Hari itu, kami akan difoto untuk kartu identitas. Kami akan dijemput untuk membeli seragam dan kemudian kami akan pergi ke hotel di Chicago untuk mulai bekerja.
"Kita akan baik-baik saja," katanya, sambil mengusap punggung saya. "Hal ini tidak akan terjadi lagi." Saya percaya kepadanya.
Setelah hal-hal buruk yang baru saja saya alami, ia seperti malaikat bagi saya. "Oke," kata saya. "Mimpi buruk sudah berakhir. Sekarang saya akan pergi ke Chicago untuk memulai pekerjaan saya."
Seorang pria datang dan membawa kami ke sebuah studio foto, untuk difoto, kemudian ia mengantar kami ke sebuah toko untuk membeli seragam. Namun, ternyata, itu adalah sebuah toko lingerie, yang dipenuhi pakaian-pakaian seksi yang terlihat minim, berenda, sesuatu yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Pakaian-pakaian yang bukanlah "seragam".
Lucu juga mengingat kembali kejadian itu. Saya tahu saya sedang dibohongi dan situasi saya penuh bahaya. Saya ingat saat melihat sekeliling toko itu, bertanya-tanya jika saya bisa menyelinap pergi, menghilang.
Namun, saya takut dan saya tidak kenal siapa pun di AS. Saya pun enggan untuk meninggalkan dua perempuan Indonesia lainnya. Saya kembali dan melihat mereka cukup menikmati kesempatan berbelanja itu.
Lalu, saya menoleh kepada pengawal saya. Ia menyembunyikan senjatanya dan tengah memperhatikan saya. Gerakan tubuhnya mengisyaratkan kepada saya untuk tidak coba-coba melakukan sesuatu.
Pada hari itu, kelompok kami berpisah dan hanya sesekali saya melihat dua perempuan itu lagi. Saya dibawa pergi dengan mobil, bukan ke Chicago, melainkan ke sebuah tempat para sindikat penjualan orang yang memaksa saya untuk melakukan kegiatan seksual.
Pakai lencana polisi
Para penyelundup manusia itu berasal dari Indonesia, Taiwan, Malaysia, China, dan Amerika. Hanya dua dari mereka yang bisa berbicara bahasa Inggris. Sebagian besar mereka hanya akan menggunakan bahasa tubuh, mendorong-dorong, dan menggunakan kata-kata kasar.
Satu hal yang paling membuat saya bingung dan ketakutan malam itu, dan terus membebani saya pada minggu-minggu berikutnya, adalah bahwa salah satu dari mereka memiliki lencana polisi. Sampai hari ini, saya tidak tahu apakah ia benar-benar seorang polisi.
Mereka bilang saya berutang kepada mereka sebesar 30.000 dollar AS (sekitar Rp 400 juta dengan kurs sekarang). Saya harus mengangsur utang senilai 100 dollar setiap kali melayani seorang pria.
Selama berminggu-minggu dan bulan-bulan berikutnya, saya dibawa pergi pulang ke rumah bordil yang berbeda-beda, apartemen-apartemen, hotel-hotel, dan kasino-kasino di Pantai Timur.
Saya jarang berada di tempat yang sama dalam dua hari, dan saya tidak pernah tahu di mana saya berada atau ke mana saya pergi.
Rumah-rumah bordil ini tampak seperti rumah-rumah biasa dari luar, dan ada diskotek di dalamnya dengan lampu kelap-kelip dan musik ingar-bingar. Kokain, sabu, dan ganja diletakkan di atas meja.
Narkoba dan senjata
Para bandit itu menyuruh saya mengonsumsi narkoba di bawah todongan senjata, dan mungkin itu yang bisa membuat saya bisa mengatasi paksaan seksual itu.
Siang dan malam, saya hanya minum bir dan wiski karena hanya minuman itu yang ditawarkan. Saya tidak tahu waktu itu bahwa di Amerika kita bisa minum air keran.
Selama dua puluh empat jam dalam sehari, kami gadis-gadis menghabiskan waktu dengan duduk-duduk, dalam keadaan benar-benar telanjang, menunggu para pelanggan.
Jika tidak ada yang datang, maka kami bisa tidur sebentar, meskipun tidak pernah di ranjang. Namun, masa-masa sepi pelanggan seperti ini juga merupakan saat yang digunakan para penyelundup manusia itu untuk memerkosa kami.
Jadi, kami harus tetap waspada. Tidak ada yang bisa ditebak.
Meski saya menjaga kewaspadaan, saya seakan mati rasa, dan tidak bisa menangis. Diliputi kesedihan, kemarahan, kekecewaan, saya hanya bisa melakukan apa yang telah diperintahkan, dan berusaha keras untuk bertahan hidup.
Saya ingat saat melihat gadis kecil yang dipukuli, dan saya juga melihat para penjahat itu menyakiti perempuan lainnya jika mereka membuat masalah atau menolak melakukan hubungan seksual. Pistol, pisau, dan pemukul bisbol menjadi alat yang digunakan silih berganti.
Mereka memberi saya julukan "Candy". Semua perempuan yang diperdagangkan berasal dari Asia. Selain dari Indonesia, ada juga gadis-gadis dari Thailand, China, dan Malaysia.
Ada pula para wanita yang bukan merupakan budak seks. Mereka adalah pelacur yang mencari penghasilan, dan tampaknya bisa bebas untuk datang dan pergi.
Hampir setiap malam, sekitar tengah malam, salah seorang anggota sindikat membawa saya ke sebuah kasino. Mereka akan mendandani saya supaya terlihat bagai putri.
Mucikari saya akan memakai setelan hitam dan sepatu hitam mengilat. Ia berjalan diam-diam di samping saya seperti pengawal saya, sambil menodongkan pistol ke punggung saya setiap waktu. Kami tidak melewati lobi, tetapi melalui pintu masuk staf dan lift khusus untuk layanan binatu.
Saya ingat saat kali pertama diantar ke kamar hotel kasino. Saya pikir mungkin saya bisa lari. Namun, rupanya, salah seorang anggota sindikat menunggu saya di koridor. Ia menunjukkan arah ke kamar sebelah, lalu kamar berikutnya, dan seterusnya.
Saya berada di setiap kamar selama empat puluh lima menit, malam demi malam. Mucikari selalu menunggu di balik pintu kamar.
Saya selalu patuh, makanya saya tidak pernah dipukuli oleh para mucikari. Para pelanggan sangat kejam. Beberapa dari mereka tampak seperti anggota mafia Asia, tetapi ada juga orang kulit putih, orang kulit hitam, dan orang-orang Hispanik.
Ada orang-orang tua dan mahasiswa. Saya adalah milik mereka selama 45 menit dan saya harus melakukan apa yang mereka katakan, kalau tidak mereka akan menyakiti saya.
Sungguh menyakitkan
Apa yang saya alami sungguh berat menyakitkan. Secara fisik, saya lemah. Para mucikari hanya memberi saya makan sup, nasi, dan acar.
Saya lebih sering mengonsumsi obat-obatan. Ancaman kekerasan yang terus-menerus, dan keharusan tetap waspada, itu juga sangat melelahkan.
Satu-satunya yang menjadi milik saya—di luar "seragam" yang saya kenakan—adalah sebuah tas kecil, yang berisi kamus, sebuah Alkitab kecil, dan ada beberapa bolpoin, juga buku-buku permainan yang saya curi dari kamar hotel, dengan nama-nama kasino di dalamnya.
Saya juga menyimpan sebuah buku harian, sesuatu yang saya lakukan sejak saya masih kecil.
Saya menulis dalam bahasa campuran Indonesia, Inggris, Jepang, dan simbol-simbol. Saya mencoba untuk mencatat apa yang sudah saya lakukan, ke mana saya pergi, berapa orang yang sudah bersama saya, dan tanggal berapa.
Saya melakukannya sebisa mungkin, meskipun hal itu sulit karena saya tidak bisa membedakan siang atau malam jika sudah berada di dalam rumah bordil.
Saya selalu berpikir untuk melarikan diri, tetapi peluangnya sangat langka.
Pada suatu malam, saya disekap di sebuah loteng rumah bordil di Connecticut. Kamarnya memiliki jendela yang bisa saya buka, lalu seprai dan pakaian saya susun menjadi tali, lalu mengikatnya ke kusen jendela, saya mencoba turun menggunakan tali.
Begitu saya sampai di ujung tali, jarak antara tali dan tanah masih terlalu jauh. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali memanjat lagi.
Lalu, suatu hari, saya dibawa ke rumah bordil di Brooklyn, tempat saya kali pertama menginjakkan kaki di Amerika Serikat. Saya bersama seorang gadis Indonesia berumur 15 tahun bernama Nina, dan kami pun menjadi teman. Ia adalah seorang gadis cantik dan manis dan selalu bersemangat.
Sekali waktu, Nina menolak untuk melakukan apa yang diperintahkan, lalu mucikari memelintir tangannya. Ia berteriak kesakitan.
Pria Indonesia
Kami mengobrol dengan perempuan lain yang berada di rumah bordil itu. Ia merupakan "pelacur kelas atas", yang artinya ia memimpin kami. Ia bersikap baik, dan mengatakan kalau kami bisa keluar dari rumah bordil, kami harus menghubungi seorang pria ini.
Dikatakan, pria itu yang akan mencarikan kami pekerjaan yang layak, dan kami bisa menghemat uang untuk pulang. Saya mencatat nomornya dalam secarik kertas dan menyimpannya.
Saat ia tengah membicarakan soal utang kami sebesar 30.000 dollar AS yang harus kami lunasi kepada para mucikari, saya mulai panik. Saya yakin saya akan mati sebelum saya bisa melayani 300 pria. Saya memejamkan mata dan berdoa semoga ada yang bisa menolong.
Tidak lama setelah itu, di kamar mandi, saya melihat sebuah jendela kecil. Sekrupnya tertutup, tetapi Nina dan saya berupaya membukanya, dan tangan saya gemetar. Saya menggunakan sendok untuk membuka selot secepat mungkin.
Kemudian, kami memanjat lewat jendela dan melompat turun di sisi lain. Kami menelepon nomor yang diberikan perempuan itu, dan seorang pria Indonesia terdengar menjawab telepon kami. Sama seperti yang dikatakan perempuan tadi, ia berjanji untuk membantu kami.
Kami sangat bersemangat. Dia bertemu kami dan membayar biaya menginap di sebuah hotel, lalu ia berkata agar kami menunggu di sana sampai dia bisa menemukan pekerjaan untuk kami.
Ia mengurus kami, membelikan kami makanan, pakaian, dan lain-lain. Namun, setelah beberapa minggu, dia menyuruh kami tidur dengan sejumlah pria di hotel.
Lalu, ketika kami menolak, ia pun menelepon Johnny untuk datang dan menjemput kami. Ternyata, ia juga merupakan anggota sindikat lainnya. Pria itu, pelacur kelas atas, dan yang lainnya rupanya bekerja sama.
Konsulat RI tak membantu
Di dekat hotel, sebelum Johnny tiba, saya berhasil kabur dari mucikari baru saya dan melarikan diri ke jalan, hanya memakai sandal dan tidak membawa apa-apa kecuali dompet. Saya berbalik, dan berteriak kepada Nina yang mengikuti saya. Mucikari memegangnya erat.
Saya bisa mencapai sebuah kantor polisi dan menceritakan semuanya kepada salah seorang petugas polisi. Ia tidak memercayai saya dan menolak saya. Jauh lebih aman untuk saya, kata dia, untuk kembali di jalanan tanpa uang atau dokumen.
Dalam keadaan putus asa untuk mencari bantuan, saya mendekati dua petugas polisi lainnya di jalan dan mendapat respons yang sama.
Lalu, saya pergi ke Konsulat Indonesia untuk mencari bantuan mendapatkan dokumen-dokumen, seperti paspor, dan bantuan lain.
Saya tahu, mereka memiliki ruangan bagi orang untuk bisa tidur dalam keadaan darurat. Namun, mereka juga tidak membantu saya.
Saya marah dan jengkel. Saya tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Saya datang ke Amerika Serikat saat musim panas, dan saat itu tengah menuju musim dingin, dan saya kedinginan.
Saya terpaksa tidur di stasiun kereta api bawah tanah di New York, Staten Island Ferry, dan di Times Square.
Saya mengemis makanan dari orang-orang yang berlalu lalang. Setiap ada kesempatan, saya menceritakan kisah saya kepada mereka. Saya katakan bahwa ada sebuah rumah di sekitar wilayah itu yang menyekap sejumlah perempuan, dan mereka membutuhkan bantuan.
Eddy dan FBI
Hingga pada suatu hari, ketika saya berada di Grand Ferry Park di Williamsburg, seorang pria bernama Eddy membelikan saya makanan. Ia berasal dari Ohio. Ia merupakan seorang pelaut yang tengah berlibur.
"Kembalilah besok saat siang hari (noon)," katanya, setelah saya menceritakan kisah saya.
Saya sangat senang. Saya tidak berhenti untuk menanyakan apa yang ia maksud dengan kata "noon". Yang saya tahu saat sekolah, "noon" bisa jadi "menjelang sore". Saya menebak kata "noon" di sini adalah kata lain untuk "pagi". Jadi, esok harinya saya datang lebih pagi ke tempat yang sama di taman itu, dan menunggu datangnya Eddy selama beberapa jam.
Akhirnya, ia datang, dan mengatakan sudah menelepon dan berbicara dengan FBI, lalu FBI telah menelepon kantor polisi. Kami langsung pergi ke pos polisi. Di sana sudah ada para petugas yang mencoba membantu saya.
Jadi, Eddy mengantarkan saya dengan mobilnya ke sana, dan dua detektif menanyai saya panjang lebar. Saya menunjukkan buku harian saya kepada mereka dengan rincian lokasi pelacuran, dan buku-buku pemainan dari kasino tempat saya telah dipaksa untuk bekerja.
Mereka menelepon maskapai penerbangan dan imigrasi, dan mereka sudah mengecek laporan saya.
"Oke," kata mereka akhirnya. "Apakah Anda siap untuk pergi?"
"Pergi ke mana?" tanya saya.
"Menjemput teman-teman Anda," kata mereka.
Lalu, saya masuk mobil polisi dan kami melaju ke rumah bordil di Brooklyn itu. Saya lega, saya bisa menemukannya lagi.
Rasanya seperti sebuah adegan dalam sebuah film. Mobil diparkir, dan saya melihat ke luar jendela. Di luar rumah bordil, ada polisi yang menyamar berpura-pura menjadi tunawisma. Saya ingat salah satu dari mereka mendorong troli belanja.
Kemudian, ada banyak detektif, polisi bersenjata, tim SWAT, dan para penembak jitu bersembunyi di dekatnya.
Kendati saya menikmatinya sekarang, tetapi saat itu saya merasa sangat tegang, dan khawatir jika saat polisi memasuki bangunan itu justru tidak menemukan apa pun di sana pada malam itu. Akankah mereka berpikir saya telah berbohong? Akankah saya yang akan masuk penjara, dan bukan orang yang menganiaya saya?
Seorang petugas polisi berpakaian sipil dan menyamar sebagai pelanggan. Ia menekan bel rumah bordil. Saya melihat Johnny muncul di ambang pintu, dan, setelah berbicara singkat, ia membuka jeruji logam. Dia langsung dipaksa kembali ke dalam ruang yang gelap.
Dalam hitungan detik, seluruh tim polisi sudah berada di anak tangga dan masuk ke dalam rumah itu. Tidak ada satu pun tembakan yang dilepaskan.
Satu jam telah berlalu. Mereka mengatakan, saya bisa keluar dari mobil dan mendekati rumah bordil. Mereka sudah menutupi salah satu jendela dengan kertas lalu melubanginya supaya saya bisa melihat ke dalam.
Momen terhebat dalam hidup
Dengan cara seperti ini, saya bisa mengenali Johnny dan para perempuan yang bekerja di rumah bordil itu tanpa bisa terlihat. Ada tiga perempuan di sana. Nina berada di antara mereka.
Ketika saya melihat perempuan-perempuan itu keluar dari bangunan itu, telanjang dan hanya berbalut handuk, itu adalah momen terhebat dalam hidup saya.
Melahirkan adalah sebuah keajaiban, ya, tetapi tidak ada yang bisa membandingkan emosi yang saya alami ketika melihat teman-teman mendapatkan lagi kebebasan mereka.
Dalam kilatan lampu biru dan merah dari mobil-mobil polisi, kami menari, berteriak, menjerit kegirangan!
Johnny didakwa dan akhirnya ditahan, seperti dua pria lainnya yang ditangkap pada hari-hari berikutnya. Kendati begitu, saya masih membutuhkan dukungan, dan kesempatan untuk menyembuhkan diri.
FBI menghubungkan saya dengan Safe Horizon, sebuah organisasi di New York yang membantu korban-korban kejahatan dan pelecehan, termasuk korban perdagangan manusia.
Mereka membantu saya untuk tinggal di AS secara legal, memberi saya tempat tinggal, dan menghubungkan saya dengan lembaga-lembaga yang bisa mengusahakan pekerjaan.
Saya bisa kembali ke keluarga saya di Indonesia. Namun, FBI memerlukan kesaksian saya untuk menghadapi para sindikat perdagangan manusia, dan saya benar-benar menginginkan mereka dipenjara. Ternyata, prosesnya memakan waktu selama bertahun-tahun.
Di Indonesia, para sindikat datang mencari saya di rumah ibu saya. Ibu dan putri saya harus bersembunyi. Orang-orang itu sudah lama mencari saya.
Bahaya besar mengancam putri saya. Namun, akhirnya, Pemerintah AS dan Safe Horizon mempertemukan kami kembali pada tahun 2004, setelah mengizinkan putri saya untuk terbang ke Amerika.
Boleh menetap di AS
Sebagai imbalan karena telah membantu pemerintah, pada tahun 2010, saya diberi izin untuk menetap di AS. Pada saat itu, mereka bilang saya bisa memilih nama baru untuk keselamatan saya sendiri.
Saya memutuskan untuk tetap memakai nama lama Shandra Woworuntu. Ini nama saya. Para sindikat itu telah mengambil semua yang saya miliki, lalu mengapa saya harus menyerah dengan mengganti nama?
Beberapa tahun setelah pelarian, saya mulai merasakan rasa sakit dan mati rasa pada persendian. Saya mengalami masalah di kulit dan sakit migren parah.
Setelah melalui banyak tes, para dokter menyarankan saya untuk menemui psikiater atas hal yang sudah saya alami.
Meski sudah 15 tahun berlalu, saya masih kesulitan tidur malam. Hubungan dengan pria pun masih jauh dari normal. Saya masih mengunjungi terapis setiap minggu, dan psikiater setiap dua minggu sekali, untuk memperoleh obat-obat anti-depresan.
Saya masih teringat masa lalu, sepanjang waktu. Bau wiski membuat saya muntah. Jika saya mendengar nada dering tertentu, bunyi telepon genggam mucikari saya, tubuh saya menegang disertai rasa takut.
Wajah-wajah di keramaian begitu menakutkan. Bayangan-bayangan itu muncul sesaat. Saya hancur berkeping-keping.
Jika Anda menghabiskan waktu dengan saya, Anda akan melihat saya sering memainkan cincin di jari saya untuk menenangkan diri. Saya memakai karet gelang di lengan saya, saya terus-menerus menjepretkan benda itu, dan syal yang saya pakai juga akan diputar-putar.
Sepertinya, kebahagiaan menjauh dari saya, dan mungkin akan selalu begitu. Saya sudah bisa berdamai dengan masa lalu saya.
Saya suka menyanyi dalam paduan suara, dan membesarkan anak-anak adalah sesuatu yang sangat menyembuhkan. Gadis kecil saya sudah tumbuh menjadi seorang remaja, dan saya juga memiliki putra berusia sembilan tahun.
Membantu korban lain
Saya sudah memutuskan untuk melakukan semua yang saya bisa untuk membantu para korban perbudakan lainnya. Saya memulainya dengan sebuah organisasi, Mentari, yang membantu korban-korban berbaur ke dalam masyarakat, dan menghubungkan mereka ke pasar kerja.
Pada saat yang sama, kami mencoba untuk meningkatkan kesadaran tentang risiko datang ke AS kepada orang-orang yang masih melihat negara ini sebagai tanah impian. Setiap tahun, sebanyak 17.000 sampai 19.000 orang dibawa ke AS untuk diperdagangkan.
Tahun lalu, kami membantu menerbitkan sebuah buku komik pendidikan tentang masalah ini di Indonesia.
Kami juga menyumbangkan peternakan ayam dan bibitnya sehingga kalangan orang-orang tidak mampu bisa beternak ayam untuk dijual dan dimakan, jadi mereka tidak merasa harus menjual anak-anak mereka kepada sindikat penjualan manusia.
Tidak semua korban perdagangan itu berasal dari kalangan orang-orang miskin. Beberapa di antaranya, seperti saya, memiliki gelar sarjana.
Saya membantu seorang dokter dan guru dari Filipina. Tidak hanya kaum perempuan, saya juga telah membantu kaum lelaki yang diperdagangkan, dan bahkan ada satu orang yang berusia 65 tahun.
Saya menuturkan pengalaman saya di gereja-gereja, sekolah-sekolah, universitas, dan lembaga-lembaga pemerintah.
Saat kali pertama usai menceritakan kisah saya, konsulat Indonesia mendekati saya, bukan untuk meminta maaf, melainkan untuk meminta saya menarik kembali pernyataan saya tentang penolakan mereka untuk membantu saya.
Maaf, itu sudah terlambat. Itu sudah beredar di luar sana. Saya tidak bisa berpura-pura atas apa yang telah terjadi.
Pemerintah Indonesia tak peduli
Bahkan setelah media memberitakan kasus saya, Pemerintah Indonesia tidak merasa perlu menghubungi saya, mengecek keadaan saya, apakah baik-baik saja atau membutuhkan bantuan.
Selain bekerja dengan kelompok-kelompok masyarakat, saya juga membahas masalah ini dengan Pemerintah Meksiko, dan tahun lalu saya bersaksi di depan Senat AS.
Saya meminta kepada para senator agar menetapkan undang-undang (UU) untuk memastikan bahwa para pekerja yang direkrut dari luar negeri mengetahui hak-hak mereka, tidak dikenakan biaya, diberi tahu soal gaji, dan kondisi hidup yang bisa mereka harapkan di AS.
Saya senang bisa mengatakan bahwa sejak itu peraturan diubah, dan agen-agen perekrutan di luar negeri harus mendaftar ke departemen tenaga kerja sebelum mereka beroperasi.
Saya juga melobi Senat, atas nama National Survivor Network, untuk menempatkan para korban perdagangan manusia dalam peran yang bisa memberikan dampak langsung pada kebijakan.
Bertemu di Gedung Putih
UU The Survivors of Human Trafficking Empowerment telah melaksanakannya. Saya merasa terhormat untuk mengatakan, pada Desember 2015, saya diminta bergabung dengan sebuah dewan baru. Kami bertemu untuk kali pertama pada Januari, di Gedung Putih.
Kita sangat perlu mendidik rakyat Amerika tentang subyek ini. Menengok kembali pengalaman saya sendiri, saya pikir semua orang yang bekerja di kasino dan hotel pasti tahu apa yang sedang terjadi.
Rumah bordil yang ada di Brooklyn merupakan wilayah permukiman, apakah para tetangga di sekelilingnya tidak pernah berhenti untuk bertanya mengapa seolah tak ada habisnya orang datang ke rumah tersebut, siang dan malam?
Masalahnya adalah, orang-orang melihat perempuan-perempuan yang diperdagangkan ini sebagai pelacur, dan bukan sebagai korban, melainkan sebagai penjahat. Di kota-kota besar, orang-orang menutup mata atas segala macam tindak kejahatan seperti ini.
Kita mungkin bisa memulai dengan memenjarakan para pria yang telah membayar untuk berhubungan seks. Setelah rumah bordil di Brooklyn digerebek dan banyak para pembeli seks ditanyai, kemudian semuanya malah dibebaskan.
Kini, pria yang tertangkap basah dikirim untuk menjalani pembinaan satu hari yang disebut John School. Ini bukanlah hukuman, melainkan mengajarkan mereka cara untuk mengidentifikasi anak-anak di rumah bordil, dan hal-hal mengenai perempuan yang dipaksa untuk menjadi pekerja seks.
Bagus, tetapi belum cukup. Saya pikir, nama orang-orang yang membayar untuk berhubungan seks dengan para wanita atau pria yang diperdagangkan harus dipublikasikan, seperti orang-orang yang melakukan pelecehan terhadap anak-anak dan predator seksual.
Saya masih berteman dekat dengan Nina, yang baru-baru ini menginjak usia 30 tahun. Selama bertahun-tahun, saya memiliki nomor telepon Eddy, orang yang melapor kepada FBI atas nama saya, ketika saya putus asa.
Pada tahun 2014, sekitar hari Natal, saya memutar nomor telepon. Saya akan bercerita tentang semua yang telah terjadi pada saya, tetapi ia memotong omongan saya dan mengatakan, "Saya tahu semua. Saya mengikuti berita-beritanya. Saya sangat senang, Anda telah berhasil."
Lalu ia berkata, "Tidak usah mengucapkan terima kasih kepada saya. Anda sendiri yang telah melakukan semua itu."
Saya tetap ingin mengucapkan terima kasih, Eddy, karena sudah mendengarkan kisah saya hari itu di taman, dan membantu saya memulai lagi hidup saya.
No comments:
Post a Comment