Percepatan RUU Tembakau Dinilai Mencurigakan dan Sarat Korupsi


Diskusi tentang RUU Pertembakauan di Gedung YLBHI Jakarta, Minggu (26/6/2016).

JAKARTA,  Percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan dinilai mencurigakan dan sarat dengan korupsi. Pasalnya, sejarah pembahasan dan mekanisme pembentukan RUU Pertembakauan dinilai hanya mementingkan kepentingan produsen industri rokok.
"Tujuannya koruptif, karena dekat  dengan kepentingan industri," ujar Koordinator Bantuan Hukum YLBHI Julius Ibrani di Sekretariat YLBHI, Jakarta, Minggu (26/6/2016).
"Sudah jelas adanya pelanggaran prosedur, pembahasan dilakukan dengan cara yang tidak terbuka, sehingga patut dicurigai untuk kepentingan korupsi," kata dia.
Dalam Pasal 121 ayat 1 Tata Tertib DPR Nomor 1 Tahun 2014, disebutkan bahwa jika ada RUU yang masuk dalam daftar prioritas, maka pelaksanaan harmonisasi dan pemantapan dilakukan dalam dua kali masa sidang (1 tahun).
Namun, RUU Pertembakauan sudah dua tahun mangkrak tanpa ada pembahasan yang jelas.
"Ini menjelang liburan, lalu kami dapat informasi RUU ini harus dikejar, padahal ada 10 RUU prioritas, dan ada 37 RUU prolegnas lainnya yang lebih penting, kenapa harus RUU Tembakau yang didahulukan, lalu pembahasannya dilakukan di hotel?" kata Julius. M
enurut Julius, dari sisi urgensi, RUU Pertembakauan tidak dapat dikatakan sebagai prioritas. Sebab, setidaknya ada 14 undang-undang yang sudah mengatur sebagian besar pasal dalam draf RUU Pertembakauan.
Misalnya, terkait aturan produksi tembakau, distribusi, hingga penentuan harga dan cukai tembakau. Selain itu, alasan DPR mengenai RUU sebagai perlindungan bagi petani tidak berdasar.
Sebab, dalam draf RUU Pertembakauan hanya ada 3 pasal yang membahas tentang petani. Perlindungan bagi petani sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Tak hanya itu, dasar pembentukan RUU Pertembakauan dinilai berpedoman pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63 Tahun 2015 tentang Peta Jalan Industi Tembakau.
Permen tersebut mengatur bagaimana produksi ditingkatkan, cukai direndahkan, dan iklan rokok yang dibebaskan.
"RUU yang tadinya mengedepankan HAM dan kesehatan, kini berubah jadi bagaimana legalisasi industri tembakau," kata Julius.
Badan Legislasi DPR RI memasukkan Rancangan Undang-Undang tentang Pertembakauan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015.
Sebelumnya, Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo mengatakan, masuknya RUU tersebut dalam daftar prioritas merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi dominasi rokok putih di pasar domestik dalam negeri.
"Tembakau merupakan komoditas strategis Indonesia dan tembakau kita memiliki sejarah terbaik di dunia. Tapi, di sisi lain, ada pihak asing yang ingin mengembangkan industri rokok putih di Indonesia," kata Firman, di Kompleks Parlemen, Selasa (10/2/2015).

Politisi Partai Golkar ini mengatakan, banyak pihak yang berupaya agar pembahasan RUU Pertembakauan gagal. Hal ini, menurut dia, tak terlepas dari upaya persaingan usaha di antara produsen rokok.
Padahal, pembahasan RUU ini sengaja dijadikan prioritas untuk melindungi industri tembakau, khususnya para petani dalam negeri.
Sedangkan inisiator RUU Pertembakauan Taufiqulhadi menjelaskan mengenai pembahasan RUU Pertembakauan yang dilakukan di hotel, dan bukan di Gedung DPR.
Taufiq menyatakan hampir sebagian besar anggota Baleg yang juga bertugas di Komisi III DPR merasa lelah setelah seharian penuh mengikuti rangkaian uji kelayakan dan kepatutan calon tunggal Kapolri , Komisaris Jenderal Tito Karnavian pada Kamis (23/6/2016) kemarin.

"Jadi karena konsinyering ini akan berlangsung sampai malam sekali, makanya sama teman-teman sekalian diadakan di hotel supaya selesai rapat bisa langsung tidur," ujar Taufiq.
Dia pun mengatakan alasan pemilihan tempat rapat di hotel bukan karena ingin menyembunyikan sesuatu dari publik.
"Sama sekali tidak ada yang hendak kami sembunyikan dari publik, rapat ini pun murni dihadiri oleh Baleg DPR dan inisiator saja, tidak ada pihak perusahaan rokok yang hadir," ujarnya.

No comments:

Post a Comment