Ketika Dua Terpidana Teroris Bicara Soal Arti Jihad yang Menyimpang...


Ali Imron bertatap muka dengan 4 anggota keluarga Bom Bali dan meminta maaf atas keterlibatannya dalam serangan itu

JAKARTA, Ali Imron dan Jumu Tuani menceritakan pengalamannya selama masih terlibat aktif dalam kelompok teroris dan mengungkapkan pandangan mereka dalam memaknai Jihad saat itu. Mereka adalah mantan terpidana kasus teroris yang kini tengah menjalani proses deradikalisasi untuk mengubah pola pikir jihadnya. Mereka kali ini menjadi pembicara dalam acara Wahid Institute yang bertajuk Peran Islam Untuk Perdamaian Indonesia di Masjid Al Fataa, Menteng Raya, Jakarta Pusat, Selasa (28/6/2016).
Ali adalah terpidana hukuman seumur hidup dalam kasus bom Bali 2001. Dia berperan membawa mobil van yang berisi bahan peledak. Di dalam peristiwa itu, warga Australia yang paling banyak menjadi korban yakni 88 warganya tewas.
Sedangkan Jumu Tuani adalah mantan komandan Komando Pusat Jihad Maluku. Dia sempat terlibat dalam konflik Ambon 1999-2003.


Kisah soal doktrin yang ditanamkan kelompok teroris pertama kali diutarakan oleh Ali Imron. Dia mengisahkan keterlibatanna bergabung dengan kelompok itu karena diajak oleh sang kakak, Ali Gufron dan Imam Samudera.

Kedua orang itu merencanakan peledakan dua kafe di kawasan Legian, Bali. Ali Imron mengaku ada yang salah dari tindakan itu karena tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun, ia tetap mengikuti instruksi kakaknya.
Setelah kejadian, Ali akhirnya menyadari bahwa makna Jihad dalam Islam bukan berarti diperbolehkan untuk membunuh orang lain.
"Saat saya diajak melakukan aksi bom di Bali, sebenarnya saya sudah menolak karena menurut saya target kami saat itu orang-orang tidak bersalah. Sedangkan kata Ali Gufron, aksi itu untuk balas dendam kepada Amerika kerena telah menyerang Afghanistan," ujar Ali Imron.

Sedangkan Jumu Tuani mengajak masyarakat yang hadir untuk melawan pengaruh paham ISIS dan paham radikalisme agama lainnya yang saat ini menjadi ancaman serius di Indonesia.
Dalam pemaparannya, pria yang pernah terlibat langsung dalam konflik kemanusiaan di Ambon sejak tahun 1999-2003 ini menilai, paham radikal ISIS telah melenceng dari ajaran Islam yang sesungguhnya.
"ISIS adalah khawarij (ajaran yang menyimpang) tidak sesuai dengan ajaran Islam," ungkap Jumu.

Islam ajarkan kedamaian
Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid mengatakan bahwa kajian Ramadhan tersebut digelar agar masyarakat memahami makna sebenarnya dari jihad yang diajarkan oleh Islam.
Menurut dia, Islam memiliki hukum (fikih) Jihad di mana saat perang ada larangan untuk membunuh orang-orang yang tidak bersalah seperti orang asing di luar Islam yang tidak terlibat perang, perempuan, dan anak-anak.
Yenny menuturkan selama ini di mata dunia Internasional, Islam telah diidentikan dengan kekerasan, kekejaman, dan terorisme. Padahal, Islam itu mengajarkan tentang perdamaian.

Oleh sebab itu, jihad harus dimaknai sebagai upaya syiar ajaran agama Islam, menyebarkan teladan Nabi Muhammad SAW secara damai. Yenny pun berpendapat, masih banyak masalah yang dialami oleh umat Islam.
Maka Jihad pun harus dilakukan untuk mengembalikan wajah Islam tanpa terkait dengan terorisme dan kekerasan
"Saya juga sering jihad ke luar negeri mensyiarkan ajaran islam bisa membawa rahmat bagi dunia. Menyebarkan teladan Nabi secara damai. Saat ini Islam dilihat sebagai agama yang keras, kejam dan dekat dengan terorisme. Inilah upaya saya untuk menyiarkan pesan-pesan perdamaian," ujar Yenny.

No comments:

Post a Comment