Reklamasi pantai utara Jakarta dinilai pegiat lingkungan hidup akan merusak ekosistem dan menurunkan kualitas lingkungan hidup di sekitarnya. Selain itu, berpotensi menimbulkan banjir dan rob.
Tanpa ditanyakan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, tidak sulit menjawab pertanyaan "untuk siapa reklamasi pantai Jakarta diberikan?". Sejumlah keterangan, fakta, dan data mengemuka tanpa diminta di dunia yang serba terhubung ini.
Sejak operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M Sanusi yang menerima uang Rp 1.140.000.000 dari PT Agung Podomoro Land Tbk (APL), Kamis (31/3/2016), jawaban atas pertanyaan di atas muncul ke permukaan.
Jawaban pertama dan terutama untuk reklamasi Jakarta yang akan mewujud dalam 17 pulau itu langsung menunjuk kepada sembilan pengembang.
Pengembang itu adalah Muara Wisesa Samudra (anak perusahaan APL yang menyuap M Sanusi), Pelindo II, Manggala Krida Yudha, Taman Harapan Indah, dan Jaladri Kartika Ekapaksi. Lima pengembang ini masing-masing mendapat izin prinsip atas satu pulau.
Empat pengembang lain adalah Jakarta Propertindo (2 pulau), KEK Marunda (2 pulau), Pembangunan Jaya Ancol (4 pulau), Kapuk Naga Indah (5 pulau). Kapuk Naga Indah yang mengembangkan lima pulau adalah anak perusahaan Agung Sedayu Group.
Reklamasi Jakarta dalam wujud 17 pulau ini untuk sementara diberi nama Pulau A hingga Q. Dilihat dari ketinggian, 17 pulau ini akan menyerupai kalung dengan untaian batu permata di cekungan garis pantai Jakarta sepanjang sekitar 32 kilometer.
Untuk 17 pulau ini, izin prinsip sudah dikeluarkan dalam Peraturan Gubernur No 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara DKI Jakarta. Peraturan ini ditandatangani Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pada 19 September 2012, atau sebulan sebelum masa jabatannya berakhir.
Namun, peraturan gubernur itu tidak lahir tiba-tiba. Di atasnya adalah Peraturan Presiden No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Puncak, dan Cianjur.
Peraturan ini ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 Agustus 2008, atau dua bulan sebelum masa jabatannya berakhir dan maju lagi dalam Pemilu Presiden 2009 dan terpilih pada periode kedua.
Di atas peraturan presiden ini, ada Keputusan Presiden No 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Peraturan ini ditandatangani Presiden Soeharto pada 13 Juli 1995, atau pada akhir masa kejayaannya.
Posisi Ahok
Memegang izin prinsip dari Gubernur DKI Jakarta sebagai Ketua Badan Pengendali Reklamasi Jakarta saja tidak cukup bagi para pengembang untuk mendapat keuntungan. Dibutuhkkan izin lainnnya, yaitu izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin proyek/reklamasi untuk menjemput keuntungan itu.
Izin terakhir terkait rencana reklamasi ini dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam bentuk izin proyek/reklamasi atas Pulau F, Pulau I, Pulau K, dan Pulau G. Izin proyek/reklamasi Pulau F dan Pulau I ditandatangani pada 22 November 2015. Izin proyek/reklamasi Pulau K ditandatangani pada 17 November 2015.
Gambar proyek reklamasi 17 Pulau di Teluk Jakarta.
Sementara
itu, Pulau G yang dikembangkan APL lewat anak perusahaannya Muara
Wisesa Samudra, izin proyek/reklamasinya ditandatangani pada 23 Desember
2014.
Ahok
sebagai gubernur menuangkannya dalam SK Gubernur No 2238 Tahun 2014
tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara
Wisesa Samudra. Oleh pengembang, proyek Pulau G ini diberi nama Pluit
City.Untuk reklamasi ini, Ahok, bahkan saat masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Joko Widodo, menyebut sebagai proyek prioritas. Dalam perjalanan kemudian menjadi gubernur, Ahok mengatakan tidak ada yang salah dengan reklamasi. Ahok menyebut banyak negara melakukan reklamasi, seperti Belanda, Singapura, dan Uni Emirat Arab (Dubai) sebagai pembanding.
Memastikan tidak ada salahnya dengan reklamasi, Ahok mengaku akan berpegang pada Keppres No 52/1995 Pasal 11 terkait kepentingan lingkungan, pelabuhan, kawasan pantai berhutan bakau, nelayan, dan fungsi-fungsi lain.
Kepada pengembang, Ahok menekankan kewajiban pengembang di 17 pulau hasil reklamasi dengan mematok 15 persen lahan pulau buatan untuk fasilitas sosial dan fasilitas umum. Ahok pernah menyebut, proporsi itu akan dipakai untuk membangun rusun, membangun pompa, dan mengatasi banjir.
Perkara 15 persen kewajiban pengembang ini diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K) dan Rancangan Peraturan Daerah Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta yang dibahas bersama DPRD DKI Jakarta.
Dari alotnya pembahasan dua raperda ini, KPK mengendus adanya pemufakatan antara anggota DPRD DKI Jakarta, Agung Podomoro Land Tbk, dan pemerintah daerah untuk mengubah kebijakan dengan suap. Endusan itu terbukti saat operasi tangkap tangan oleh KPK.
Usai operasi tangkap tangan, KPK menyebut, perubahan kebijakan dari kewajiban pengembang 15 persen menjadi hanya 5 persen ada dalam pengaruh suap. Suap diberikan pihak pengembang yang akan mendapat keuntungan.
Petugas KPK menunjukkan barang bukti yang diperoleh dari operasi
tangkap tangan (OTT) terkait dugaan suap DPRD DKI Jakarta di Gedung KPK,
Jakarta, Jumat (1/4/2016). Dalam OTT itu KPK berhasil menangkap anggota
DPRD DKI Jakarta M Sanusi dan seorang dari pihak swasta serta barang
bukti Rp1,140 miliar yang diduga untuk melakukan suap terkait reklamasi
pesisir utara Jakarta dan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis.
Soal
kasus hukum ini, KPK yang bekerja tekun, gigih, dan dalam diam tengah
mengembangkan. Setelah operasi tangkap tangan, KPK menetapkan Presiden
Direktur Agung Podomoro Land Tbk Ariesman Widjaja sebagai tersangka. KPK
juga mencegah Chairman Agung Sedayu Group Aguan Sugianto bepergian ke
luar negeri. Ini bentuk pengembangan KPK yang mendapat apresiasi.
Untuk siapa reklamasi?Di luar proses hukum ini, pertanyaan untuk siapa reklamasi pantai Jakarta menunggu jawaban. Dengan harga tanah hasil reklamasi yang diperkirakan APL sekitar Rp 22 juta-Rp 38 juta per meter persegi, warga seperti apa yang sanggup membeli? Tidak mungkin yang membeli adalah warga yang hendak mencicil rumah untuk ditinggali.
Sambil mencari jawaban atas pertanyaan ini, ada data terkait rata-rata vonis penjara koruptor yang terus turun lamanya. Tahun 2013, rata-rata koruptor dihukum 2 tahun 11 bulan. Tahun 2014, rata-rata koruptor dihukum 2 tahun 8 bulan. Tahun 2015, rata-rata koruptor dihukum 2 tahun 2 bulan.
Kabar buruk bagi KPK. Sebaliknya, hal ini menjadi kabar baik bagi para koruptor dan calon koruptor yang saat ini tengah menjadi tersangka di KPK.
Oya, meskipun tidak bisa berkutik ketika dibilang sebagai "Gubernur Agung Podomoro Land Tbk", Ahok saat ini adalah Gubernur DKI Jakarta.
Meskipun warga DKI Jakarta kerap merepotkan, memberi banyak tuntutan bukan banyak bantuan seperti Agung Podomoro Land Tbk, Ahok tidak ada tanpa warga DKI Jakarta yang makin terdesak ke pinggiran karena melambungnya harga lahan lantaran dikuasai para pengembang.
No comments:
Post a Comment