Ilustrasi reklamasi
JAKARTA, Ketua Komisi D DPRD Jakarta Mohamad Sanusi ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Kamis pekan lalu. Ia ditangkap tak lama setelah menerima suap dari PT Agung Podomoro Land sebesar Rp 1,14 miliar.
KPK menyatakan suap yang diberikan Sanusi berhubungan dengan
pembahasan dua rancangan peraturan daerah (raperda) yang saat ini tengah
di godok di DPRD DKI, masing-masing Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (ZWP3K); dan Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis
Pantai Utara Jakarta Raperda ZWP3K dan Raperda Tata Ruang Kawasan
Stategis Pantai Utara Jakarta memiliki keterkaitan dengan proyek
reklamasi pembuatan 17 pulau buatan di Pantai Utara Jakarta.
PT Agung Podomoro Land merupakan salah satu pengembang yang terlibat di dalamnya.
Selain menangkap Sanusi, KPK juga diketahui telah menetapkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja sebagai tersangka. KPK menyatakan Ariesman merupakan orang yang paling berperan dalam pemberian suap kepada Sanusi.
Tidak hanya itu, pada Minggu kemarin, KPK juga mencekal Chairman Agung Sedayu Group Aguan Sugianto bepergian ke luar negeri. Seperti Agung Podomoro, Agung Sedayu Group juga salah satu pengembang dalam proyek reklmasi.
PT Agung Podomoro Land merupakan salah satu pengembang yang terlibat di dalamnya.
Selain menangkap Sanusi, KPK juga diketahui telah menetapkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja sebagai tersangka. KPK menyatakan Ariesman merupakan orang yang paling berperan dalam pemberian suap kepada Sanusi.
Tidak hanya itu, pada Minggu kemarin, KPK juga mencekal Chairman Agung Sedayu Group Aguan Sugianto bepergian ke luar negeri. Seperti Agung Podomoro, Agung Sedayu Group juga salah satu pengembang dalam proyek reklmasi.
Polemik reklamasi Jakarta
Jauh sebelum adanya kasus Sanusi, proyek reklamasi Jakarta sudah memunculkan polemik. Dimulai dari penolakan dari nelayan dan aktivis lingkungan, hingga adu argumen antara Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastusi dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
September tahun lalu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menggugat Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2014 tentang pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan dari PT Agung Podomoro Land. Gugatan didaftarkan ke PTUN, Jakarta Timur.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah KNTI Jakarta Muhammad Taher mengatakan, alasan gugatan tersebut dilakukan karena nelayan mengalami dampak akibat reklamasi Pulau G.
"Kami kesulitan memperoleh tangkapan ikan karena area tangkapan sekarang ini sudah dangkal untuk pembuatan Pulau G. Rajungan dan ikan adalah tangkapan kami," kata Taher di PTUN Cakung, Jakarta Timur, Selasa (15/9/2015).
Padahal, lanjut Taher, ada sekitar 16.000 nelayan Jakarta dan juga nelayan dari pesisir utara Jawa Barat dan Banten yang bertumpu pada area laut yang dibuat Pulau G tersebut. Dari jumlah itu, separuhnya adalah nelayan Jakarta.
Sejak Teluk Jakarta direklamasi, nelayan mengalami kerugian dalam melaut. (Baca: Soal Reklamasi, KNTI Tuding Ahok Kerjai DPRD DKI)
"Pendapatan nelayan tradisional hanya sekitar Rp 30.000 per hari, sementara ongkos melaut per hari bisa mencapai Rp 300.000," ujar Taher.
Sementara itu, Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Martin Hadiwinata, mengatakan, SK yang dikeluarkan Basuki pada bulan Desember 2014 telah melanggar hak nelayan kecil tradisional.
Tak hanya itu, izin ini telah melanggar pelestarian lingkungan hidup di Teluk Jakarta.
"Penerbitan SK itu juga tidak melalui sosialisasi kepada nelayan. Izin reklamasi ini harus melalui soaialisasi kepada masyarakat setempat karena ada ribuan nelayan yang bergantung hidup di sana," kata Martin.
Selain itu, pemberian izin reklamasi di Teluk Jakarta juga disebut tidak disertai dengan kajian dampak lingkungannya. Menurut dia, kasus ini berbeda dengan reklamasi di Teluk Benoa, Bali, yang memiliki kajian lingkungan.
"Kajian ilmiah terkait reklamasi di Teluk Jakarta itu belum pernah ada sehingga belum diketahui dampak lingkungan yang disebabkan oleh reklamasi. Kalau Teluk Benoa, ada," kata Priadi, perwakilan dari Indonesia Human Right Committee for Social Justice.
Atas dasar itu, mereka meminta majelis hakim PTUN untuk menunda pengerjaan proyek reklamasi Pulau G selama proses hukum berjalan. Namun, apa daya, sampai kini, proyek reklamasi terus berjalan.
Reportase Harian Kompas pada November lalu menyebutkan daratan baru hasil reklamasi telah terbentuk di tiga lokasi, yakni di Kamal Muara, Pluit, dan Ancol. Berdasarkan peta rencana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta, reklamasi di tiga lokasi itu adalah Pulau C (seluas 275 hektar); Pulau D (312 hektar) di daerah Kamal Muara-Kapuk yang dikerjakan PT Kapuk Naga Indah; dan Pulau G (161 hektar) di Pluit oleh PT Muara Wisesa Samudera. Pulau K (32 hektar) di Ancol oleh PT Pembangunan Jaya Ancol.
Timbunan pasir telah menggunung di tiga lokasi yang terpisah 200-300 meter dari daratan Jakarta itu. Di atas lahan urukan itu, alat berat bekerja tanpa henti. Kapal tongkang pembawa pasir lalu lalang dan merapat ke satu sisi pulau.
Sementara truk besar silih berganti mengangkut pasir dari tongkang, lalu menumpahkannya ke sisi lain pulau buatan tersebut. Lokasi proyek-proyek itu ada di tengah perairan, tak sembarang orang bebas menapaki lokasinya. Karena petugas keamanan sudah siaga di sejumlah tempat.
Jauh sebelum adanya kasus Sanusi, proyek reklamasi Jakarta sudah memunculkan polemik. Dimulai dari penolakan dari nelayan dan aktivis lingkungan, hingga adu argumen antara Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastusi dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
September tahun lalu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menggugat Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2014 tentang pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan dari PT Agung Podomoro Land. Gugatan didaftarkan ke PTUN, Jakarta Timur.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah KNTI Jakarta Muhammad Taher mengatakan, alasan gugatan tersebut dilakukan karena nelayan mengalami dampak akibat reklamasi Pulau G.
"Kami kesulitan memperoleh tangkapan ikan karena area tangkapan sekarang ini sudah dangkal untuk pembuatan Pulau G. Rajungan dan ikan adalah tangkapan kami," kata Taher di PTUN Cakung, Jakarta Timur, Selasa (15/9/2015).
Padahal, lanjut Taher, ada sekitar 16.000 nelayan Jakarta dan juga nelayan dari pesisir utara Jawa Barat dan Banten yang bertumpu pada area laut yang dibuat Pulau G tersebut. Dari jumlah itu, separuhnya adalah nelayan Jakarta.
Sejak Teluk Jakarta direklamasi, nelayan mengalami kerugian dalam melaut. (Baca: Soal Reklamasi, KNTI Tuding Ahok Kerjai DPRD DKI)
"Pendapatan nelayan tradisional hanya sekitar Rp 30.000 per hari, sementara ongkos melaut per hari bisa mencapai Rp 300.000," ujar Taher.
Sementara itu, Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Martin Hadiwinata, mengatakan, SK yang dikeluarkan Basuki pada bulan Desember 2014 telah melanggar hak nelayan kecil tradisional.
Tak hanya itu, izin ini telah melanggar pelestarian lingkungan hidup di Teluk Jakarta.
"Penerbitan SK itu juga tidak melalui sosialisasi kepada nelayan. Izin reklamasi ini harus melalui soaialisasi kepada masyarakat setempat karena ada ribuan nelayan yang bergantung hidup di sana," kata Martin.
Selain itu, pemberian izin reklamasi di Teluk Jakarta juga disebut tidak disertai dengan kajian dampak lingkungannya. Menurut dia, kasus ini berbeda dengan reklamasi di Teluk Benoa, Bali, yang memiliki kajian lingkungan.
"Kajian ilmiah terkait reklamasi di Teluk Jakarta itu belum pernah ada sehingga belum diketahui dampak lingkungan yang disebabkan oleh reklamasi. Kalau Teluk Benoa, ada," kata Priadi, perwakilan dari Indonesia Human Right Committee for Social Justice.
Atas dasar itu, mereka meminta majelis hakim PTUN untuk menunda pengerjaan proyek reklamasi Pulau G selama proses hukum berjalan. Namun, apa daya, sampai kini, proyek reklamasi terus berjalan.
Reportase Harian Kompas pada November lalu menyebutkan daratan baru hasil reklamasi telah terbentuk di tiga lokasi, yakni di Kamal Muara, Pluit, dan Ancol. Berdasarkan peta rencana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta, reklamasi di tiga lokasi itu adalah Pulau C (seluas 275 hektar); Pulau D (312 hektar) di daerah Kamal Muara-Kapuk yang dikerjakan PT Kapuk Naga Indah; dan Pulau G (161 hektar) di Pluit oleh PT Muara Wisesa Samudera. Pulau K (32 hektar) di Ancol oleh PT Pembangunan Jaya Ancol.
Timbunan pasir telah menggunung di tiga lokasi yang terpisah 200-300 meter dari daratan Jakarta itu. Di atas lahan urukan itu, alat berat bekerja tanpa henti. Kapal tongkang pembawa pasir lalu lalang dan merapat ke satu sisi pulau.
Sementara truk besar silih berganti mengangkut pasir dari tongkang, lalu menumpahkannya ke sisi lain pulau buatan tersebut. Lokasi proyek-proyek itu ada di tengah perairan, tak sembarang orang bebas menapaki lokasinya. Karena petugas keamanan sudah siaga di sejumlah tempat.
Adu argumen Ahok dan Susi
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sempat mengkritik keras proyek reklamasi di Pantai Utara Jakarta. Menurut dia, ketimbang reklamasi pulau, lebih baik para developer mengembangkan pulau-pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta.
"Saya melihat pulau di Kepulauan Seribu itu banyak sekali yang belum dikelola. Ngapain juga bikin pulau di depan Jakarta," ujar Susi, Selasa (8/9/2015).
Menurut Susi, KKP melihat ada kecenderungan bahwa para developer menganggap reklamasi sebagai hal yang praktis dan mudah untuk membuat properti di Jakarta. Padahal, kata dia, reklamasi justru akan menyisihkan masyarakat yang hidup di pesisir.
Selain itu, Susi menyatakan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang KKP) telah memiliki kajian terhadap dampak reklamasi pulau.
"Litbang kita sudah (mempelajari Amdal Pulau G) dan memberikan saran, akan ada degradasi lingkungan," kata dia.
Karena itu, Susi menilai seharusnya seluruh instansi yang berkepentingan dengan reklamasi pulau mau duduk bersama untuk mengantisipasi konsekuensi tersebut. Sebab, izin Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) sedianya dikeluarkan setelah ada kajian dari antar-departemen.
Bagi Susi sendiri, reklamasi untuk pembangunan adalah hal yang sah, sejauh tidak bertentangan dengan aturan yang ada.
Menanggapi hal itu, Ahok menyatakan siap berdebat dengan Susi. Ia mengatakan, gubernur memiliki kewenangan yang sejajar dengan menteri.
"Di dalam UU khusus Ibu Kota, Gubernur DKI sejajar dengan menteri. Kalau menteri keluarkan surat edaran yang bertentangan dengan peraturan daerah, siapa yang lebih kuat? Apa kami mesti ikuti surat edaran seorang menteri? Jakarta ini ibu kota, khusus lho, dan Perda RDTR (Rencana Detail Tata Ruang)-nya sudah ada," kata Basuki di Balai Kota, Jumat (18/9/2015).
Tidak hanya itu, Ahok juga mengatakan, sebagian negara besar juga telah melakukan reklamasi, seperti Singapura, Belanda, China, Hongkong, dan Vietnam. Reklamasi pulau, kata Basuki, berfungsi untuk menambah daratan. Sebab, jumlah penduduk semakin bertambah tiap tahunnya sehingga membutuhkan lahan baru.
"Sekarang ada enggak LSM yang protes reklamasi sungai? Dari Sungai Ciliwung selebar 20 meter jadi cuma 5 meter. Singapura reklamasi pulau terus, China juga reklamasi di Selat Taiwan, Korea Selatan juga begitu. Kita aja yang lucu gitu lho," kata dia.
Ahok tak mau hentikan proyek reklamasi
Meski sudah ada dugaan suap, Ahok menyatakan proyek reklamasi pembangunan 17 pulau buatan di Pantai Utara Jakarta akan tetap berjalan. Menurut Ahok, proyek reklamasi pembangunan 17 pulau buatan di Pantai Utara Jakarta memiliki payung hukum yang jelas, yakni Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
"Reklamasi tetap jalan karena dari tahun 1995 sudah ada Kepresnya. Dan menurut saya jalan aja," kata Ahok di Rusunawa Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, Sabtu (2/4/2016).
Menurut Ahok, dua rancangan peraturan daerah (Raperda) terkait proyek reklamasi yang tengah dibahas di DPRD DKI, bukanlah payung hukum, melainkan revisi terhadap Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Karena, kata Ahok, pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 dinyatakan bahwa kewajiban pengembang proyek reklamasi hanya 5 persen.
Sementara, Ahok ingin agar kewajiban itu dinaikan menjadi 15 persen. (Baca: Ahok Pastikan Proyek Reklamasi Tetap Berjalan meski Ada Kasus Suap)
"Kita kan sudah hitung kewajiban mesti 15 persen. Ada yang mau main jadi cuma 5 persen. Tapi kita udah komitmen 15 persen," ujar Ahok.
Ia pun meminta pengembang proyek reklamasi 17 pulau buatan untuk tidak lagi mencoba-coba mempengaruhi pembuat kebijakan, agar bersedia menurunkan kewajibannya dari 15 persen menjadi 5 persen.
Kewajiban pengembang yang dimaksud adalah kewajiban menyerahkan minimal 15 persen lahan pulau buatannya untuk fasos fasum. Menurut Ahok, penyerahan kewajiban pengembang sampai 15 persen bertujuan agar Pemerintah Provinsi DKI memiliki lahan untuk membangun rumah susun bagi para pekerja dari kalangan menengah ke bawah yang nantinya akan bekerja di pulau tersebut.
"Pulau buatan itu jangan diisi orang kaya dong, kan masih ada sopir atau pembantu mau kerja. Mereka nanti tinggal di mana? Masa masih mau dari Bekasi, Depok. Makanya saya tambah 15 persen dalam Raperda ini," kata Ahok.
Sementara di sisi lain, para nelayan dan aktivis lingkungan terus mendesaknya agar menghentikan proyek tersebut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sempat mengkritik keras proyek reklamasi di Pantai Utara Jakarta. Menurut dia, ketimbang reklamasi pulau, lebih baik para developer mengembangkan pulau-pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta.
"Saya melihat pulau di Kepulauan Seribu itu banyak sekali yang belum dikelola. Ngapain juga bikin pulau di depan Jakarta," ujar Susi, Selasa (8/9/2015).
Menurut Susi, KKP melihat ada kecenderungan bahwa para developer menganggap reklamasi sebagai hal yang praktis dan mudah untuk membuat properti di Jakarta. Padahal, kata dia, reklamasi justru akan menyisihkan masyarakat yang hidup di pesisir.
Selain itu, Susi menyatakan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang KKP) telah memiliki kajian terhadap dampak reklamasi pulau.
"Litbang kita sudah (mempelajari Amdal Pulau G) dan memberikan saran, akan ada degradasi lingkungan," kata dia.
Karena itu, Susi menilai seharusnya seluruh instansi yang berkepentingan dengan reklamasi pulau mau duduk bersama untuk mengantisipasi konsekuensi tersebut. Sebab, izin Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) sedianya dikeluarkan setelah ada kajian dari antar-departemen.
Bagi Susi sendiri, reklamasi untuk pembangunan adalah hal yang sah, sejauh tidak bertentangan dengan aturan yang ada.
Menanggapi hal itu, Ahok menyatakan siap berdebat dengan Susi. Ia mengatakan, gubernur memiliki kewenangan yang sejajar dengan menteri.
"Di dalam UU khusus Ibu Kota, Gubernur DKI sejajar dengan menteri. Kalau menteri keluarkan surat edaran yang bertentangan dengan peraturan daerah, siapa yang lebih kuat? Apa kami mesti ikuti surat edaran seorang menteri? Jakarta ini ibu kota, khusus lho, dan Perda RDTR (Rencana Detail Tata Ruang)-nya sudah ada," kata Basuki di Balai Kota, Jumat (18/9/2015).
Tidak hanya itu, Ahok juga mengatakan, sebagian negara besar juga telah melakukan reklamasi, seperti Singapura, Belanda, China, Hongkong, dan Vietnam. Reklamasi pulau, kata Basuki, berfungsi untuk menambah daratan. Sebab, jumlah penduduk semakin bertambah tiap tahunnya sehingga membutuhkan lahan baru.
"Sekarang ada enggak LSM yang protes reklamasi sungai? Dari Sungai Ciliwung selebar 20 meter jadi cuma 5 meter. Singapura reklamasi pulau terus, China juga reklamasi di Selat Taiwan, Korea Selatan juga begitu. Kita aja yang lucu gitu lho," kata dia.
Ahok tak mau hentikan proyek reklamasi
Meski sudah ada dugaan suap, Ahok menyatakan proyek reklamasi pembangunan 17 pulau buatan di Pantai Utara Jakarta akan tetap berjalan. Menurut Ahok, proyek reklamasi pembangunan 17 pulau buatan di Pantai Utara Jakarta memiliki payung hukum yang jelas, yakni Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
"Reklamasi tetap jalan karena dari tahun 1995 sudah ada Kepresnya. Dan menurut saya jalan aja," kata Ahok di Rusunawa Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, Sabtu (2/4/2016).
Menurut Ahok, dua rancangan peraturan daerah (Raperda) terkait proyek reklamasi yang tengah dibahas di DPRD DKI, bukanlah payung hukum, melainkan revisi terhadap Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Karena, kata Ahok, pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 dinyatakan bahwa kewajiban pengembang proyek reklamasi hanya 5 persen.
Sementara, Ahok ingin agar kewajiban itu dinaikan menjadi 15 persen. (Baca: Ahok Pastikan Proyek Reklamasi Tetap Berjalan meski Ada Kasus Suap)
"Kita kan sudah hitung kewajiban mesti 15 persen. Ada yang mau main jadi cuma 5 persen. Tapi kita udah komitmen 15 persen," ujar Ahok.
Ia pun meminta pengembang proyek reklamasi 17 pulau buatan untuk tidak lagi mencoba-coba mempengaruhi pembuat kebijakan, agar bersedia menurunkan kewajibannya dari 15 persen menjadi 5 persen.
Kewajiban pengembang yang dimaksud adalah kewajiban menyerahkan minimal 15 persen lahan pulau buatannya untuk fasos fasum. Menurut Ahok, penyerahan kewajiban pengembang sampai 15 persen bertujuan agar Pemerintah Provinsi DKI memiliki lahan untuk membangun rumah susun bagi para pekerja dari kalangan menengah ke bawah yang nantinya akan bekerja di pulau tersebut.
"Pulau buatan itu jangan diisi orang kaya dong, kan masih ada sopir atau pembantu mau kerja. Mereka nanti tinggal di mana? Masa masih mau dari Bekasi, Depok. Makanya saya tambah 15 persen dalam Raperda ini," kata Ahok.
Sementara di sisi lain, para nelayan dan aktivis lingkungan terus mendesaknya agar menghentikan proyek tersebut.
No comments:
Post a Comment