Ruslan didakwa lantaran diduga korupsi sebesar Rp 5,3 miliar atas
proyek pembangunan dermaga bongkar pada Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam tahun anggaran 2011.
Saat itu, Ruslan meminta pejabat pembuat komitmen (PPK) membuat harga perkiraan sendiri (HPS) berdasarkan harga yang telah digelembungkan dan menerima uang dari kontraktor pelaksana pekerjaan.
"Menuntut majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan pidana tujuh tahun penjara pada terdakwa Ruslan Abdul Gani," kata jaksa KPK, Kiki Ahmad Yani, dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (26/10/2016).
Selain itu, Ruslan juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 4,3 miliar.
Adapun Hal-hal yang memberatkan, kata Kiki, Ruslan melakukan perbuatan tersebut di saat negara tengah giat memberantas praktik korupsi.
"Sementara hal-hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui secara terus terang perbuatannya dan belum pernah dihukum," kata Kiki.
Kiki menambahkan, Ruslan diduga melakukan korupsi ketika menjabat sebagai Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS).
Ruslan diangkat sebagai Kepala BPKS berdasarkan Surat Keputusan (SK) Irwandi Yusuf selaku gubernur Aceh saat itu.
Kemudian hasil korupsi tersebut dibagi bersama bos PT Nindya Karya, Heru Sulaksono senilai Rp19,8 miliar dan perwakilan PT Nindya Karya, Sabir Said sebesar Rp 3,8 miliar.
PT Nindya Karya merupakan perusahaan penggarap proyek pembangunan dermaga tersebut. Selain itu, uang korupsi diduga juga mengalir ke pejabat pembuat kebijakan (PPK) pembangunan dermaga bongkar Sabang tahun 2004-2010, Ramadhani Ismy senilai Rp 470 juta, dan Ananta Sofwan selaku staf ahli PT Ecoplan Rekabumi Interconsultant sebesar Rp 250 juta.
Ruslan juga disebut memperkaya mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dengan pemberian senilai Rp 14,06 miliar.
Atas perbuatannya, Ruslan diancam pidana Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Saat itu, Ruslan meminta pejabat pembuat komitmen (PPK) membuat harga perkiraan sendiri (HPS) berdasarkan harga yang telah digelembungkan dan menerima uang dari kontraktor pelaksana pekerjaan.
"Menuntut majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan pidana tujuh tahun penjara pada terdakwa Ruslan Abdul Gani," kata jaksa KPK, Kiki Ahmad Yani, dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (26/10/2016).
Selain itu, Ruslan juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 4,3 miliar.
Adapun Hal-hal yang memberatkan, kata Kiki, Ruslan melakukan perbuatan tersebut di saat negara tengah giat memberantas praktik korupsi.
"Sementara hal-hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui secara terus terang perbuatannya dan belum pernah dihukum," kata Kiki.
Kiki menambahkan, Ruslan diduga melakukan korupsi ketika menjabat sebagai Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS).
Ruslan diangkat sebagai Kepala BPKS berdasarkan Surat Keputusan (SK) Irwandi Yusuf selaku gubernur Aceh saat itu.
Kemudian hasil korupsi tersebut dibagi bersama bos PT Nindya Karya, Heru Sulaksono senilai Rp19,8 miliar dan perwakilan PT Nindya Karya, Sabir Said sebesar Rp 3,8 miliar.
PT Nindya Karya merupakan perusahaan penggarap proyek pembangunan dermaga tersebut. Selain itu, uang korupsi diduga juga mengalir ke pejabat pembuat kebijakan (PPK) pembangunan dermaga bongkar Sabang tahun 2004-2010, Ramadhani Ismy senilai Rp 470 juta, dan Ananta Sofwan selaku staf ahli PT Ecoplan Rekabumi Interconsultant sebesar Rp 250 juta.
Ruslan juga disebut memperkaya mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dengan pemberian senilai Rp 14,06 miliar.
Atas perbuatannya, Ruslan diancam pidana Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
No comments:
Post a Comment