Wali Kota Bandung Ridwan Kamil bersama Tahir seorang pengusaha terkenal Indonesia saat mengunjungi korban bencana banjir bandang di Kabupaten Garut, Senin (17/10/2016).
BANDUNG, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil melakukan pertemuan bersama salah seorang pegiat nol sampah (zerowaste) asal Inggris, Paul Connet, Kamis (27/10/2016) sore.
Dalam pertemuan itu, keduanya sempat membahas soal profesionalisme pengelolaan sampah di Bandung.
Paul, kata Ridwan, menyarankan agar pengelolaan sampah di Bandung harus direformasi. Tata kelola pengolahan sampah secara profesional harus dimulai di tingkatan terendah selevel RW.
"Jadi kata beliau, saran untuk Kota Bandung agar tukang sampah di level kewilayahan khususnya level RW menjadi agen pertama yang memilah-milahnya. Jangan main ambil terus dibuang," ucapnya.
Sistem desentralisasi semacam itu akan berdampak pada efisiensi anggaran untuk membuat fasilitas PLTSA skala besar yang kerap menuai pro dan kontra.
"Jadi hasilnya sampah itu bisa habis di tingkat kelurahan. Kalo sampah habis di kelurahan menurut mereka tidak ada alasan lagi untuk membangun fasilitas-fasilitas PLTSA yang skala kota. Bisa dengan disentralisasi, jadi mereka menyarankan dengan biodegerester untuk prosesnya," ujarnya.
Emil, begitu ia disapa, mengaku bahwa saat ini pengelolaan sampah di level terendah jarang mendapat perhatian. Sebab itu, ia pun mewacanakan akan mengumpulkan para lurah agar bisa mengedukasi soal profesionalisme pengelolaan sampah di tingkat RW.
"Kan selama ini yang tidak pernah terkontrol petugas sampah di skala RW, macetnya itu di situ. Kita selalu mengontrol hanya di Dinas Kebersihan saja, padahal dari rumah ke Dinas Kebersihan itu ada transitnya, yaitu tukang sampah skala RW," tuturnya.
"Nah, tukang sampah di skala RW ini tidak pernah diedukasi, dikumpulkan dan diatur SOP-nya. Mungkin hikmahnya dari pertemuan ini, saya akan kumpulkan lurah agar si pengambil sampah tingkat RW itu bisa dilatih dengan standar kerja yang profesional," jelasnya.
Paul, kata Ridwan, menyarankan agar pengelolaan sampah di Bandung harus direformasi. Tata kelola pengolahan sampah secara profesional harus dimulai di tingkatan terendah selevel RW.
"Jadi kata beliau, saran untuk Kota Bandung agar tukang sampah di level kewilayahan khususnya level RW menjadi agen pertama yang memilah-milahnya. Jangan main ambil terus dibuang," ucapnya.
Sistem desentralisasi semacam itu akan berdampak pada efisiensi anggaran untuk membuat fasilitas PLTSA skala besar yang kerap menuai pro dan kontra.
"Jadi hasilnya sampah itu bisa habis di tingkat kelurahan. Kalo sampah habis di kelurahan menurut mereka tidak ada alasan lagi untuk membangun fasilitas-fasilitas PLTSA yang skala kota. Bisa dengan disentralisasi, jadi mereka menyarankan dengan biodegerester untuk prosesnya," ujarnya.
Emil, begitu ia disapa, mengaku bahwa saat ini pengelolaan sampah di level terendah jarang mendapat perhatian. Sebab itu, ia pun mewacanakan akan mengumpulkan para lurah agar bisa mengedukasi soal profesionalisme pengelolaan sampah di tingkat RW.
"Kan selama ini yang tidak pernah terkontrol petugas sampah di skala RW, macetnya itu di situ. Kita selalu mengontrol hanya di Dinas Kebersihan saja, padahal dari rumah ke Dinas Kebersihan itu ada transitnya, yaitu tukang sampah skala RW," tuturnya.
"Nah, tukang sampah di skala RW ini tidak pernah diedukasi, dikumpulkan dan diatur SOP-nya. Mungkin hikmahnya dari pertemuan ini, saya akan kumpulkan lurah agar si pengambil sampah tingkat RW itu bisa dilatih dengan standar kerja yang profesional," jelasnya.
No comments:
Post a Comment