Menangkal "Hantu" Ruang Daring
Warga membubuhkan cap tangan saat sosialisasi dan deklarasi Masyarakat Indonesia Anti Hoax di Jakarta, Minggu (8/1). Deklarasi yang juga dilakukan di lima kota lain di Indonesia itu bertujuan membersihkan media sosial dari berita bohong alias hoax.
Damar Juniarto, aktivis demokrasi digital, dalam rangkaian cuitan Twitter-nya yang diberi tanda pagar #HantuHoax awal Januari lalu mengistilahkan informasi "hoax" sebagai "hantu" karena berangkat dari hal tak nyata. Beberapa bulan terakhir, teror "hantu" ini menguras energi. Bagaimana cara tepat menghentikannya agar tidak jadi racun demokrasi?
Teror hoax atau informasi berupa teks, gambar, atau video bohong atau pelintiran itu dinilai sudah begitu masif meneror ruang-ruang publik dalam jaringan (daring) di Indonesia.
Mulai dari tautan gambar atau teks di jejaring pertemanan daring, seperti Facebook, Twitter, Instagram, hingga pesan berantai di grup Whatsapp.
Pengguna internet yang tidak waspada dengan teror hantu hoax dengan mudah menyebarkannya kepada koleganya di ruang daring sehingga memunculkan efek bola salju yang menggelinding semakin besar.
Dalam diskusi Satu Meja bertajuk "Hoax di Negeri Demokrasi" yang disiarkan Kompas TV, Senin (16/1) malam, Ketua Satuan Tugas Multimedia Divisi Humas Mabes Polri Komisaris Besar Sulistyo Pudjo mengutip hasil penelitian pakar teknologi informasi Pratama Persada menyebutkan, informasi hoax sudah mencakup 60 persen dari konten media sosial di Indonesia.
Informasi palsu, bohong, atau pelintiran yang dimaksud terdiri dari gradasi kandungan informasi bohong yang bervariasi, baik 100 persen, 60 persen, atau 50 persen.
"Walaupun hanya 30 persen hoax, tetapi kalau terus-terusan muncul otomatis bisa dianggap menjadi kebenaran kalau tidak ada klarifikasi atau narasi balik dari pihak berwenang," kata Sulistyo dalam acara yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo itu.
Dari pantauan Polri, kata Sulistyo, informasi palsu yang disebarkan di ruang digital itu cukup beragam, tidak melulu soal politik.
Namun, ada pula konten hoax di bidang kesehatan, sosial, ataupun keamanan dan ketertiban. Dikhawatirkan, hal ini bisa menimbulkan kebingungan atau bahkan menyesatkan.
Dalam perspektif konstruktivistik, realitas sosial tidak terlepas dari konstruksi pemikiran.
Dengan begitu, informasi palsu yang terus-menerus memapar masyarakat lama-lama akan dianggap sebagai realitas.
Dampak lebih jauh, muncul pula kekhawatiran informasi hoax itu bisa mengganggu kohesi sosial bangsa Indonesia.
Kekhawatiran ini juga tergambar dari jajak pendapat Litbang Kompas di 14 kota besar di Indonesia dengan melibatkan 567 responden pada Januari 2017.
Sebanyak 56,8 persen responden menilai media sosial sangat berpengaruh dalam memecah belah ikatan sosial masyarakat dan 28,9 persen responden menilai cukup berpengaruh.
Negara yang fondasi demokrasinya lebih maju dari Indonesia juga sudah lebih dahulu mengalami hal ini.
Pemilihan Presiden Amerika Serikat akhir 2016 kerap menjadi rujukan soal dampak negatif informasi palsu dan penuh kebohongan.
Kekalahan calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, disebut-sebut dampak dari informasi palsu yang menyebar luas di media sosial menjelang pemungutan suara November 2016.
Implikasinya, hingga kurang sepekan sebelum pelantikan Presiden terpilih AS, Donald Trump, rakyat AS masih terpecah.
Perpecahan itu juga diperuncing perang kata-kata antara pendukung Trump dan mereka yang mengkritik.
Relasi antara informasi palsu dan keterpecahan politik juga bisa ditemui di Indonesia. Politisi Partai Demokrat yang juga pegiat media sosial, Roy Suryo, menuturkan, ada sumbangsih faktor keterbelahan masyarakat dalam penyebaran informasi hoax di dunia maya.
Hal ini berawal dari pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012, berlanjut pada Pilpres 2014.
Menurut dia, ada keterbelahan masyarakat yang pro dan kontra terhadap rezim yang berkuasa. Tiap pihak juga memiliki "pasukan" pendukung di dunia maya.
"Apa pun yang kanan katakan diserang yang kiri. Itu masih terjadi sampai sekarang. Pemilu 2019 belum berlangsung, tetapi embrionya sudah muncul pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Sebelum Pemilu 2019 bisa menjadi-jadi," kata Roy.
Mencari solusi
Lalu solusi apa yang bisa digunakan untuk keluar dari teror hantu hoax? Belajar dari pengalamandia sosial untuk menurunkan info AS, Pemerintah Federal Jerman sejak tahun lalu sudah mendorong penyedia platform mermasi bohong dalam waktu 24 jam.
Menjelang pemilihan umum federal pada 2017, Pemerintah Jerman bersikap lebih keras dengan membahas aturan untuk memberi denda pemilik platform yang tidak menurunkan informasi palsu dalam kurun waktu 24 jam.
Hal ini tidak terlepas dari kekhawatiran Pemerintah Jerman bahwa informasi palsu akan digunakan partai sayap kanan populis yang ultranasionalis untuk merebut suara.
Facebook merespons dengan komitmen untuk bekerja sama dengan organisasi di Jerman, Corrective, sebagai partner dalam pemeriksaan fakta guna menanggulangi informasi palsu (Reuters, 17/1).
Langkah tegas Jerman, kata Henri Subiakto, Staf Ahli Bidang Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika yang juga menjadi pembicara Satu Meja, juga akan diikuti Pemerintah Indonesia.
Menurut Henri, pemerintah juga sudah mengirim surat kepada penyedia platform bisa bekerja sama untuk mengatasi informasi hoax itu.
"Jerman sudah mendorong denda hingga Rp 3 miliar kepada penyedia platform terkait informasi hoax. Jika Jerman sudah menerapkan, kami juga akan mencobanya. Ini upaya untuk menjalankan demokrasi baik sehingga harus dipisahkan dari yang hitam," kata Henri.
Hal itu tentu bukan satu-satunya cara menghentikan hoax. Selain pendekatan penindakan dengan mendenda pemilik platform agar mereka bertanggung jawab, lalu menindak orang atau laman daring yang memuat informasi palsu, juga ada dorongan pendidikan literasi.
Peneliti Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Ignatius Haryanto, menekankan pentingnya kemampuan individual untuk "menyaring sebelum sharing (membagikan)" konten daring.
Kesadaran ini, bagi Ignatius Haryanto, sangat penting demi masa depan demokrasi Indonesia. Pasalnya, informasi palsu merupakan "racun" bagi demokrasi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment