Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memberikan keterangan pers seputar dibebaskannya warga negara Indonesia yang disandera kelompok Abu Sayyaf di Filipina, di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Minggu (1/5/2016). Sepuluh awak kapal pandu Brahma 12 milik perusahaan tambang dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang disandera sejak 26 Maret lalu, telah tiba di Jakarta.
JAKARTA, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melihat ada kejanggalan dalam peristiwa dugaan upaya penyelundupan senjata api dari Sudan ke Indonesia.
"Informasi yang kami terima sejauh ini, kami melihat adanya beberapa
kejanggalan yang harus diverifikasi lebih lanjut," ujar Retno di
Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu (25/1/2017).
Retno enggan menyebut kejanggalan apa yang dimaksud. Saat ini, Retno sedang mengupayakan agar tim gabungan dari Jakarta masuk ke El Fasher, Sudan untuk memberikan bantuan hukum kepada kontingen Polri yang tertahan akibat peristiwa itu.
Retno enggan menyebut kejanggalan apa yang dimaksud. Saat ini, Retno sedang mengupayakan agar tim gabungan dari Jakarta masuk ke El Fasher, Sudan untuk memberikan bantuan hukum kepada kontingen Polri yang tertahan akibat peristiwa itu.
Retno masih berusaha menghubungi Menteri Luar Negeri Sudan agar tim bisa masuk ke El Fasher.
"Tim kami sudah siap untuk berangkat ke Khartoum (Ibu Kota Sudan,
lalu satu jam perjalanan udara ke El Fasher) untuk memberikan
perlindungan hukum," ujar Retno.
"Anggota dari kontingen Polri kita harus mendapatkan hak-hak hukumnya secara penuh, maka kami melihat perlunya ada bantuan hukum yang dikirim dari Jakarta," lanjut dia.
"Anggota dari kontingen Polri kita harus mendapatkan hak-hak hukumnya secara penuh, maka kami melihat perlunya ada bantuan hukum yang dikirim dari Jakarta," lanjut dia.
Retno mengatakan, memang tidak bisa sembarang orang dapat masuk ke El
Fasher. Sebab, daerah itu merupakan daerah misi perdamaian.
Dalam kondisi normal, izin seseorang untuk masuk ke wilayah tersebut bisa didapatkan dalam waktu satu pekan.
"Saya juga meminta Dubes kita kembali berbicara dengan Kementerian Luar Negeri Sudan untuk menyampaikan bahwa ini bukan kondisi normal sehingga akses itu kami harapkan diberikan sesegera mungkin," ujar Retno.
Meski demikian, Retno memastikan bahwa kontingen perdamaian Indonesia tidak sendirian.
"Dubes kita hampir tiap jam berkomunikasi dengan kontingen kita yang ada di El Fasher. Jadi bukan berarti teman-teman kita tidak mendapatkan akses komunikasi. Cuma, tim kita belum dapat masuk ke El Fasher saja," lanjut Retno.
Adapun kronologi kejadian tersebut, yakni pada 15 Januari 2016, rombongan sejumlah 139 orang bertolak ke bandara untuk kembali ke Indonesia.
Barang-barang mereka dimasukkan ke dalam dua kontainer dan dibawa ke bandara.
Barang-barang itu dimasukkan ke mesin deteksi, namun tiba-tiba seorang petugas menunjuk sebuah koper, apakah milik rombongan Indonesia.
Karena warna kopernya berbeda dan tak ada label Indonesia, mereka membantah memiliki koper tersebut.
Ternyata, setelah dideteksi, dalam koper itu berisi senjata. Secara tegas, rombongan yang dipimpin oleh AKBP John Huntalhutajulu membantah koper tersebut milik mereka.
John dan rombongan menduga koper tersebut tercampur dengan koper mereka.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian sebelumnya mengatakan, sepuluh tas berisi senjata yang ditemukan di Bandara El Fasher bukan milik Formed Police Unit (FPU) ke-8 Polri.
"Hasil investigasi awal kita, baik dari kedutaan maupun laporan anggota yang ada di sana, itu menunjukkan indikasi kuat bahwa sepuluh koper itu bukan milik dari tim FPU Polri," ujar Tito di kompleks PTIK, Jakarta, Rabu (25/1/2017).
Tito mengatakan, beberapa hari sebelum berangkat, 141 koper milik Polri sudah dilakukan pengecekan dan dinyatakan bersih.
Saat hari kepulangan, setibanya di bandara, kembali dilakukan pengecekan. Jumlahnya sama dan koper-koper delegasi Indonesia semuanya seragam dan diberi tanda.
Kemudian, dilakukan pengecekan lewat X Ray. Sekitar 10 meter dari koper-koper milik Indonesia, terdapat tumpukan koper tanpa identitas dan berbeda jenis.
Petugas bandara Sudan bertanya apakah tas tersebut milik delegasi Indonesia.
Tito mengatakan, saat itu rombongan membantahnya. Dilihat secara fisik saja berbeda. Saat dimasukkan ke mesin scan, terlihat puluhan senjata dan amunisi di dalam tas-tas tersebut.
Petugas kemudian menuduh rombongan Polri hendak menyelundupkan senjata dan amunisi tersebut.
"Petugas kita menyangkal bahwa itu bukan milik kita dan tempatnya berbeda dengan tempat koper kita," kata Tito.
Tito mengatakan, mustahil Polri menyelundupkan amunisi karena produksi dalam negeri melimpah. Indonesia punya perusahaan Pindad yang memproduksi banyak amunisi untuk pengamanan negara.
"Saya juga meminta Dubes kita kembali berbicara dengan Kementerian Luar Negeri Sudan untuk menyampaikan bahwa ini bukan kondisi normal sehingga akses itu kami harapkan diberikan sesegera mungkin," ujar Retno.
Meski demikian, Retno memastikan bahwa kontingen perdamaian Indonesia tidak sendirian.
"Dubes kita hampir tiap jam berkomunikasi dengan kontingen kita yang ada di El Fasher. Jadi bukan berarti teman-teman kita tidak mendapatkan akses komunikasi. Cuma, tim kita belum dapat masuk ke El Fasher saja," lanjut Retno.
Adapun kronologi kejadian tersebut, yakni pada 15 Januari 2016, rombongan sejumlah 139 orang bertolak ke bandara untuk kembali ke Indonesia.
Barang-barang mereka dimasukkan ke dalam dua kontainer dan dibawa ke bandara.
Barang-barang itu dimasukkan ke mesin deteksi, namun tiba-tiba seorang petugas menunjuk sebuah koper, apakah milik rombongan Indonesia.
Karena warna kopernya berbeda dan tak ada label Indonesia, mereka membantah memiliki koper tersebut.
Ternyata, setelah dideteksi, dalam koper itu berisi senjata. Secara tegas, rombongan yang dipimpin oleh AKBP John Huntalhutajulu membantah koper tersebut milik mereka.
John dan rombongan menduga koper tersebut tercampur dengan koper mereka.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian sebelumnya mengatakan, sepuluh tas berisi senjata yang ditemukan di Bandara El Fasher bukan milik Formed Police Unit (FPU) ke-8 Polri.
"Hasil investigasi awal kita, baik dari kedutaan maupun laporan anggota yang ada di sana, itu menunjukkan indikasi kuat bahwa sepuluh koper itu bukan milik dari tim FPU Polri," ujar Tito di kompleks PTIK, Jakarta, Rabu (25/1/2017).
Tito mengatakan, beberapa hari sebelum berangkat, 141 koper milik Polri sudah dilakukan pengecekan dan dinyatakan bersih.
Saat hari kepulangan, setibanya di bandara, kembali dilakukan pengecekan. Jumlahnya sama dan koper-koper delegasi Indonesia semuanya seragam dan diberi tanda.
Kemudian, dilakukan pengecekan lewat X Ray. Sekitar 10 meter dari koper-koper milik Indonesia, terdapat tumpukan koper tanpa identitas dan berbeda jenis.
Petugas bandara Sudan bertanya apakah tas tersebut milik delegasi Indonesia.
Tito mengatakan, saat itu rombongan membantahnya. Dilihat secara fisik saja berbeda. Saat dimasukkan ke mesin scan, terlihat puluhan senjata dan amunisi di dalam tas-tas tersebut.
Petugas kemudian menuduh rombongan Polri hendak menyelundupkan senjata dan amunisi tersebut.
"Petugas kita menyangkal bahwa itu bukan milik kita dan tempatnya berbeda dengan tempat koper kita," kata Tito.
Tito mengatakan, mustahil Polri menyelundupkan amunisi karena produksi dalam negeri melimpah. Indonesia punya perusahaan Pindad yang memproduksi banyak amunisi untuk pengamanan negara.
No comments:
Post a Comment