"Pak Jokowi, Jangan Suruh Kami Bayar..."


Siswa-siswi SMK DR Sutomo Surabaya, ingin bertemu Bu Risma, di Balai Kota Surabaya, Selasa (28/3/2016).

Suasana ruang sidang di kantor Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (26/3) siang, menjadi hening ketika Vita Kristiana, siswi SMP Katolik Santo Stanislaus Surabaya, membacakan surat Zaqia Audiva, siswi kelas VII SMP Negeri 24 Surabaya, yang memohon kepada Presiden Joko Widodo supaya sekolah di Surabaya tetap gratis.

Dalam surat yang ditulis di kertas sobekan buku tulis bergaris itu, Zaqia bercerita bahwa ia hanya tinggal bersama neneknya yang sakit kanker rahim. Saat masih di dalam kandungan ibunya, ayah Zaqia meninggal. Saat masih kecil, Zaqia ditinggal pergi ibunya.

Zaqia khawatir jika sekolah kelak tidak gratis, neneknya akan bersusah payah mencari uang untuk biaya sekolahnya.
Di surat itu, Zaqia tidak menjelaskan bagaimana neneknya mencari uang selama ini. Ia menuliskan, dirinya takut sakit neneknya akan semakin parah jika terbebani untuk mencari uang lebih banyak. Jika sekolah di Surabaya tidak gratis lagi, Zaqia akan memilih berhenti sekolah.

"Saya mohon Pak (Jokowi) jangan suruh kami bayar, saya tidak ingin seperti anak-anak yang tidak berpendidikan. Saat saya dewasa nanti, saya janji akan menjadi orang yang sukses," tulis Zaqia. Ia juga menyimpan cita-cita untuk membiayai neneknya naik haji.

Saat Vita selesai membacakan surat Zaqia itu, ruangan masih hening. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengambil sepotong tisu dan mengusap kedua matanya. Beberapa orang yang ada di ruangan itu melakukan hal yang sama.

Sabtu siang itu, Risma dikunjungi puluhan perwakilan pelajar SMP, SMA, dan SMK dari berbagai sekolah di Surabaya. Para pelajar itu datang dengan membawa empat kotak plastik berukuran besar, berisi 33.130 surat yang ditulis para pelajar Surabaya.
Surat-surat itu hendak disampaikan kepada Presiden Jokowi sebagai respons pelajar terhadap rencana pengalihan kewenangan SMA/ SMK dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi.

Saat ini, warga Surabaya menikmati pendidikan gratis di sekolah negeri dari jenjang SD hingga SMA/SMK. Maka, ketika pengelolaan SMA/SMK diambil pemerintah provinsi, pelajar khawatir tidak bisa lagi menikmati sekolah gratis itu.

Aturan mengenai pengalihan kewenangan pengelolaan SMA dan SMK itu termuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam lampiran undang-undang itu, pendidikan dasar dikelola pemerintah kabupaten/kota, pendidikan menengah dikelola pemerintah provinsi, dan pendidikan tinggi dikelola pemerintah pusat.

Selain membawa surat, sebagian pelajar mengutarakan keluh kesah mereka di hadapan Risma. Hampir semua yang terungkap adalah kekhawatiran pelajar bahwa ada kemungkinan anak-anak dari keluarga kurang mampu tidak akan lagi menikmati pendidikan yang bagus di Surabaya seperti saat ini.

Risma mendengarkan semua aspirasi pelajar itu sambil tersenyum. Beberapa siswa bahkan cakap berbicara layaknya seorang mahasiswa. "He-he-he pinter e arek iki (pintarnya anak ini)," kata Risma ketika menyela seorang siswa yang sedang berbicara dengan gaya yang meyakinkan.

Sebelum para pelajar ini bergerak mengumpulkan surat untuk Presiden dan menemui Risma, sudah ada empat orangtua siswa yang mengajukan permohonan gugatan uji materi terhadap UU No 23/2014 itu ke Mahkamah Konstitusi pada awal Maret lalu. Gugatan itu khusus menyoroti pengalihan kewenangan pengelolaan SMA/SMK itu. Sidang pertama akan berlangsung mulai Kamis (31/3) di Jakarta.

Ketua Organisasi Pelajar Surabaya (Orpes) Khusnul Prasetyo mengatakan, setelah mengetahui aksi para wali murid itu, pelajar terdorong untuk membuat aksi sendiri, yaitu menyampaikan aspirasi melalui surat. Rencana itu didiskusikan melalui Orpes yang menjadi induk semua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di Surabaya.

Awalnya, mereka memperkirakan ada 10.000 lembar surat yang bisa dikumpulkan, tetapi ternyata jumlahnya mencapai 33.130 lembar. Maka, para pelajar itu menghadap Risma minta bantuan untuk teknis penyampaian surat itu kepada Presiden. Risma pun meminta supaya para pelajar pergi ke Jakarta menyampaikan surat itu.

Akhirnya, Khusnul bersama dua rekannya bisa menyerahkan surat itu kepada Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Senin (28/3) siang di Jakarta. Mereka didampingi Edward Dewaruci, salah satu kuasa hukum keempat orangtua siswa yang mengajukan uji materi terhadap UU No 23/2014 itu ke MK.

Hingga Rabu (30/3), para pelajar masih menunggu tindak lanjut dari pemerintah pusat. "Mungkin pemerintah pusat akan melihat dulu jalannya persidangan di MK sampai tuntas," kata Khusnul.

Menanggapi aksi para pelajar ini, Risma mengaku sudah memperkirakan keluhan semacam itu akan muncul. Ia pun sangat mendukung aksi para pelajar itu karena pelajar juga berhak bersuara. "Saya sendiri akan terus berjuang melalui jalur pemerintahan. Saya berharap Surabaya mendapat pengecualian karena mampu membiayai sendiri," kata Risma.

Dalam APBD Kota Surabaya tahun 2016 dianggarkan biaya pendidikan sebesar Rp 2,35 triliun. Jumlah itu sekitar 31 persen dari total APBD Surabaya tahun 2016 yang sebanyak Rp 7,8 triliun.

Tetap gratis

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jatim Saiful Rachman mengatakan, pelajar di Surabaya tak perlu khawatir karena kualitas pendidikan akan tetap sama dan gratis meskipun dikelola pemerintah provinsi. Bahkan, guru-guru juga tidak perlu khawatir akan dimutasi ke daerah lain.
"Bisa tetap gratis dengan cara yang berbeda. Misalnya, pemerintah kabupaten/kota bisa beri anak didiknya beasiswa," ujarnya.

Dengan adanya aksi dari para pelajar ini, Saiful justru resah. Ia khawatir persoalan ini dipolitisasi dan para pelajar itu dimanfaatkan pihak tertentu. "Anak-anak kan juga mau mempersiapkan ujian nasional. Kasihan mereka jika sampai gagal dalam ujian," ujarnya.

Edward membantah bahwa para pelajar ditunggangi pihak lain. Ia mengatakan, tidak ada wali murid atau pihak sekolah yang menggiring mereka melakukan suatu aksi. Pelajar sudah pandai mencari informasi dan melalui Orpes, mereka punya wadah untuk mendiskusikannya. Inisiatif pelajar ini pun menjadi bagian dari proses belajar. (Herpin Dewanto)

No comments:

Post a Comment