Wakil Ketua DPR Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/1/2016)
JAKARTA, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon mengatakan, perlu dipikirkan dari mana partai politik mendapatkan sumber dana untuk membiayai kegiatan.
Pasalnya, sejak era Orde Baru hingga era reformasi sekarang, tidak ada parpol yang bisa hidup dari sumbangan anggotanya.
"(Sekarang) hidup dari pemotongan gaji DPR, DPRD sebagai bentuk sumbangan anggota dan lain sebagainya. Kemudian juga sumbangan-sumbangan individu," kata Fadli dalam acara diskusi di Kantor MMD Initiative, Matraman, Jakarta Pusat, Rabu (30/3/2016).
Ia menyinggung soal partai-partai politik yang dulu diperbolehkan memiliki usaha, misalnya konsesi minyak, kebun, bengkel, dan jenis usaha lainnya.
Dengan adanya mesin-mesin usaha itu, maka parpol memiliki sumber dana khusus untuk membiayai biaya kegiatan partai.
Fadli menginginkan agar setiap suara yang diterima partai politik dihargai setidaknya Rp 5.000 dari negara. Dengan demikian, penyimpangan yang dilakukan parpol dapat diminimalisasi.
Untuk diketahui, negara baru membiayai sebagian kecil kegiatan parpol, terutama dalam bidang pendidikan politik, sejak UU No 2/1999 tentang Partai Politik, yang kini menjadi UU 2/2011 tentang Perubahan UU 2/2008 tentang Partai Politik berlaku.
Namun, jumlah bantuan tersebut dinilai terlalu kecil di tengah sistem pemilu langsung yang sarat dengan perang pembentukan opini.
Akibatnya, terdapat peningkatan besaran bantuan negara, yang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 ditetapkan senilai Rp 108 per suara dalam pemilu.
"Sekarang bagaimana (kader) parpol enggak melakukan penyimpangan, tapi enggak ada (pemasukan) dananya?" imbuhnya.
Begitu pula jika dikaitkan dengan pencalonan dalam pilkada. Saat seorang bakal calon kepala daerah datang ke partai politik, kata Fadli, akan ditanya apakah memiliki dukungan dana atau tidak.
Menurut dia, dana tersebut memang diperlukan untuk partai memperjuangkan kandidat tersebut. Salah satunya untuk kampanye.
"Tentu saja ada (syarat dana), tapi ketika itu disebut mahar politik dengan jumlah yang fantastik, itu tidak ada," tutur Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Ia menambahkan, hal ini juga dikarenakan biaya demokrasi yang semakin hari semakin mahal. Misalnya, membutuhkan dana untuk saksi di tempat pemungutan suara dalam pemilu hingga biaya iklan kampanye di media massa.
"(Sekarang) hidup dari pemotongan gaji DPR, DPRD sebagai bentuk sumbangan anggota dan lain sebagainya. Kemudian juga sumbangan-sumbangan individu," kata Fadli dalam acara diskusi di Kantor MMD Initiative, Matraman, Jakarta Pusat, Rabu (30/3/2016).
Ia menyinggung soal partai-partai politik yang dulu diperbolehkan memiliki usaha, misalnya konsesi minyak, kebun, bengkel, dan jenis usaha lainnya.
Dengan adanya mesin-mesin usaha itu, maka parpol memiliki sumber dana khusus untuk membiayai biaya kegiatan partai.
Fadli menginginkan agar setiap suara yang diterima partai politik dihargai setidaknya Rp 5.000 dari negara. Dengan demikian, penyimpangan yang dilakukan parpol dapat diminimalisasi.
Untuk diketahui, negara baru membiayai sebagian kecil kegiatan parpol, terutama dalam bidang pendidikan politik, sejak UU No 2/1999 tentang Partai Politik, yang kini menjadi UU 2/2011 tentang Perubahan UU 2/2008 tentang Partai Politik berlaku.
Namun, jumlah bantuan tersebut dinilai terlalu kecil di tengah sistem pemilu langsung yang sarat dengan perang pembentukan opini.
Akibatnya, terdapat peningkatan besaran bantuan negara, yang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 ditetapkan senilai Rp 108 per suara dalam pemilu.
"Sekarang bagaimana (kader) parpol enggak melakukan penyimpangan, tapi enggak ada (pemasukan) dananya?" imbuhnya.
Begitu pula jika dikaitkan dengan pencalonan dalam pilkada. Saat seorang bakal calon kepala daerah datang ke partai politik, kata Fadli, akan ditanya apakah memiliki dukungan dana atau tidak.
Menurut dia, dana tersebut memang diperlukan untuk partai memperjuangkan kandidat tersebut. Salah satunya untuk kampanye.
"Tentu saja ada (syarat dana), tapi ketika itu disebut mahar politik dengan jumlah yang fantastik, itu tidak ada," tutur Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Ia menambahkan, hal ini juga dikarenakan biaya demokrasi yang semakin hari semakin mahal. Misalnya, membutuhkan dana untuk saksi di tempat pemungutan suara dalam pemilu hingga biaya iklan kampanye di media massa.
No comments:
Post a Comment