"Bicara 'dangdutan', Sunatan Massal, di Jakarta Itu Tidak Bisa Menang"
JAKARTA, Para penantang bakal calon gubernur DKI Jakarta petahana, Basuki Tjahaja Purnama "Ahok" mulai bergerilya turun ke masyarakat. Mereka mulai memperkenalkan diri di tengah masyarakat sebagai calon bakal gubernur.
Dua bakal calon yang paling rajin turun adalah Yusril Ihza Mahendra dan Sandiaga Uno.
Bukan hanya turun ke tengah masyarakat, keduanya juga bertemu dengan sejumlah petinggi partai politik.
Lantas, bagaimana peluang para pesaing Ahok untuk diterima masyarakat?
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya menilai, selama kampanye mereka tidak bermuatan primodialisme, maka terbuka kemungkinan mereka bisa menyaingi Ahok.
Menurut Yunarto, isu primodialisme tidak lagi laku untuk menghadapi pesaing dalam Pilkada DKI 2017.
Fenomena ini tercermin dalam Pilkada DKI 2012 yang dimenangkan Joko Widodo dan Ahok.
"Kalau kampaye hanya berupa unjuk rasa keramaian, itu biasanya tidak akan berhasil di masyarakat perkotaan. Unjuk rasa monologis hanya berhasil di daerah middle low class, kita bicara dangdutan, sunatan massal, itu di Jakarta tak bisa," kata Yunarto di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu (30/3/2016).
Menurut dia, kunci kemenangan Jokowi-Ahok ketika itu bukan karena ketokohan atau popularitas.
Yunarto menyebut keduanya menang karena warga Jakarta ketika itu mencari pemimpin baru yang bisa menyaingi petahana.
"Rasionalitas pemilih Jakarta melihat perubahan di Jakarta terjadi ketika orang maju menantang incumbent punya modal sosial berupa track record yang terkait dengan kerjaan saat jadi gubernur DKI Jakarta nanti," sambung Yunarto.
Jokowi dan Ahok datang ke Jakarta dengan keberhasilan kerja mereka menjadi pemimpin di Solo dan Belitung Timur.
Menurut dia, masyarakat kemudian melihat kinerja Jokowi-Ahok yang lebih baik dibandingkan dengan calon petahana ketika itu, Fauzi Bowo.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment