Foto ini diambil 8 Maret 2013 menampilkan pasukan Malaysia yang berpatroli di desa Tanduo, Sabah mengejar pasukan bersenjata Sulu.
Penyanderaan 10 awak kapal Tug Boat Brahma 12 asal Indonesia di perairan sekitar Laut Sulu di Kepulauan Sulu, Filipina Selatan mengingatkan kembali makna strategis dan perlunya pengamanan perbatasan laut dan penguatan Poros Maritim.
Kepulauan Sulu dan Pulau Mindanao adalah wilayah strategis yang
terbelakang di Filipina yang berbatasan dengan Provinsi Kalimantan
Utara, Indonesia dan Negara Bagian Sabah, Malaysia.
Pada saat Jepang menyerang Filipina wilayah Amerika Serikat, Jenderal Douglas MacArthur diungsikan dari Luzon ke Australia via perairan Kepulauan Sulu-Mindanao tanggal 13 Januari 1942 dengan kapal torpedo PT Boat. Selanjutnya dia diterbangkan dari Mindanao ke Melbourne Australia dengan Bomber B-17.
Armada Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) di Asia juga menjaga poros Manila-Jawa-Australia dari perairan Laut Sulu-Laut Sulawesi-Selat Makassar hingga Selat Jawa.
Dalam buku "US Navy in World War II" disebutkan Pulau Tarakan, ketika itu wilayah Hindia-Belanda bagian Afdeling Bulungan kini Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia, menjadi pangkalan transit Panglima Armada Asia (US Asiatic Fleet) di bawah Laksamana Thomas Hart dengan kapal komando (flagship) USS Houston.
Jauh sebelum kekuasaan Amerika Serikat di Kepulauan Sulu sejak Perang Amerika-Spanyol 1898, wilayah Sulu dan Mindanao menjadi tempat yang dinamis secara politik regional di kawasan Sulawesi, Kalimantan dan Kepulauan Maluku.
M Adnan Amal dalam buku "Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950" mengatakan, Kerajaan Jailolo di Maluku Utara pernah berada di bawah kekuasaan Syarif adik Sultan Mindanao.
Dalam tradisi masyarakat Kepulauan Maluku dikenal juga sebutan Pulau Seram sebagai Nusa Ina – tanah leluhur dan Pulau Mindanao sebagai Maluku Besar.
Hubungan kawasan tersebut memang erat. Petinju Filipina Manny “Pacman” Pacquiao dikenal berasal dari Pulau Sarangani yang secara etnis memiliki kemiripan dengan etnis Sangir-Talaud di Sulawesi Utara.
Pulau Sarangani dan Pulau Balut di dekat Kota General Santos itu terletak tidak jauh dari Pulau Marore wilayah paling ujung perbatasan Sulawesi Utara.
Kandidat doktor ilmu sejarah Roderick Orlina di Murdoch University, Perth Australia bercerita kedekatan hubungan regional Maluku Utara, Sulawesi Utara dan Filipina Selatan hingga Sabah dan Kalimantan Utara.
“Memang ada kedekatan dan hubungan tradisional yang berlangsung sebelum kedatangan Bangsa Eropa,” kata Orlina yang warga Amerika Serikat berdarah Filipina.
Guru besar sejarah maritim Universitas Indonesia (Alm) Adrian B Lapian dalam buku "Orang Laut Bajak Laut Raja Laut" mengungkapkan kawasan Kepulauan Sulu dan Mindanao sejak tahun 1700-an dan 1800-an sudah ditakuti karena aktivitas bajak laut dan perompakan.
Dalam kosa kata Melayu di Indonesia dikenal sebutan “Perompak Lanun”. Lanun itu merujuk pada wilayah Lanao di sebelah barat Mindanao dekat dengan wilayah Kepulauan dan Kesultanan Sulu.
Orang Spanyol di Filipina menyamaratakan “Lanun” untuk menyebut etnis Maranao, Ilanun, Mangindano Tausug dan Samal. Kelompok etnis Tausug dan Samal adalah penghuni Kepulauan Sulu.
Lapian dalam buku lainnya "For Better of Worse" menjelaskan di tahun 1600-an Laut Sulawesi sekitar Kepulauan Sulu-Mindanao-Sulawesi Utara dan Kalimantan Utara merupakan salah satu pusat ekonomi dan politik.
Adapun Kesultanan Sulu dinilai Adrian Lapian lebih maju dari Kesultanan Mindanao. Namun pada awal 1800-an, Kesultanan Sulu sudah merosot. Pada tahun 1700-an dan medio 1800-an para penjelajah Barat menyaksikan Kesultanan Sulu masih kuat.
Salah satu penjelajah adalah Thomas Forrest orang Amerika yang membantu Thomas Raffles menulis mahakarya "History of Java". Para Bangsawan lokal yang bergelar Datu memegang kekuasaan, Kesultanan Sulu mengenal gelar Laxamana yang lebih menjadi utusan Sultan Sulu dibandingkan Laksamana dalam tradisi Kesultanan Melayu di barat Nusantara.
Adanya tradisi memungut upeti atas kapal-kapal di perairan Sulu mengakibatkan Spanyol melancarkan perang tahun 1851. Sejak itulah wilayah Sulu-Mindanao menjadi panas. Perang Sulu terjadi enam kali hingga kekuasaan Spanyol berakhir tahun 1898.
Lino Miani dalam buku "The Sulu Arms Market – National Responses to a Regional Problem" mengungkapkan, pihak Jerman dan Inggris pernah berhubungan baik dan memasok senjata bagi Kesultanan Sulu. Penyelundupan senjata mulai marak di tahun 1800-an.
Pada masa pendudukan Amerika Serikat, Kesultanan Sulu dan Mindanao sempat dalam keadaan damai. Mereka juga pernah meminta menjadi bagian dari Amerika Serikat lepas dari pengaruh warga Tagalog (orang Filipina utara).
Setelah Perang Dunia II situasi kembali memanas. Gerakan Komunis (New People’s Army) muncul hingga terbentuk Moro National Liberation Front (MNLF) dipimpin Nur Misuari yang berasal dari etnis Tausug di tahun 1970.
Dalam masa itu, kegiatan penyelundupan marak di kawasan tersebut untuk membiayai gerakan bersenjata. Lino Miani menambahkan pada tahun 1969, pemerintah PM Tunku Abdurahman melatih perang 70 aktivis Moro di Pulau Pangkor, Malaysia.
Migran dari Indonesia, aktivis keagamaan dari Mesir dan Malaysia mulai banyak masuk ke wilayah Sulu dan Mindanao. Di saat sama tahun 1970-an, Menteri Besar (setingkat Gubernur Negara Bagian) di Sabah dijabat Tun Mustafa. Mulailah membanjir imigran dari Sulu-Mindanao dan Indonesia Timur.
Konsul Muda Republik Indonesia tahun 2002-2004 di Tawau, Makdum Taher menjelaskan landscape kependudukan pantai timur Sabah seperti di Tawau, Semporna didominasi pendatang dari Sulawesi Selatan, NTT dan Jawa Timur.
Warga Indonesia juga masih ada di Sandakan. Sedangkan warga asal Sulu-Mindanao hingga Visayas mendominasi Sandakan dan Lahad Datu. Filipina pun tahun 1960-an masih memiliki klaim hingga kini terhadap Sabah yang dianggap sebagai bagian Kesultanan Sulu.
“Wilayah Ice Box di sebelah Tawau dulu jadi “Texas” banyak perampokan bersenjata yang kemudian lari ke wilayah Sulu,” kata Makdum Taher.
Jejaring masyarakat lintas negara tradisional antara Kalimantan Utara di Tarakan – Nunukan dan masyarakat Sabah di Tawau hingga Sandakan – Lahad Datu hingga warga di Pulau Sibutu, Tawi-Tawi, Jolo-Basilan hingga Kota Zamboanga di ujung barat Mindanao adalah satu entitas.
Penyelundupan – smokel – hingga penjualan senjata gelap dan penculikan merupakan bagian keseharian. Hanya wilayah Sabah, Kota Tarakan di Kalimantan Utara dan Zamboanga di ujung barat Mindanao yang tergolong aman dan stabil.
Profil wilayah dan penduduk yang penuh kekerasan dan instabilitas itulah yang dihadapi dalam upaya membebaskan sandera 10 WNI awak Kapal Tunda Brahma 12.
Pada saat Jepang menyerang Filipina wilayah Amerika Serikat, Jenderal Douglas MacArthur diungsikan dari Luzon ke Australia via perairan Kepulauan Sulu-Mindanao tanggal 13 Januari 1942 dengan kapal torpedo PT Boat. Selanjutnya dia diterbangkan dari Mindanao ke Melbourne Australia dengan Bomber B-17.
Armada Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) di Asia juga menjaga poros Manila-Jawa-Australia dari perairan Laut Sulu-Laut Sulawesi-Selat Makassar hingga Selat Jawa.
Dalam buku "US Navy in World War II" disebutkan Pulau Tarakan, ketika itu wilayah Hindia-Belanda bagian Afdeling Bulungan kini Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia, menjadi pangkalan transit Panglima Armada Asia (US Asiatic Fleet) di bawah Laksamana Thomas Hart dengan kapal komando (flagship) USS Houston.
Jauh sebelum kekuasaan Amerika Serikat di Kepulauan Sulu sejak Perang Amerika-Spanyol 1898, wilayah Sulu dan Mindanao menjadi tempat yang dinamis secara politik regional di kawasan Sulawesi, Kalimantan dan Kepulauan Maluku.
M Adnan Amal dalam buku "Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950" mengatakan, Kerajaan Jailolo di Maluku Utara pernah berada di bawah kekuasaan Syarif adik Sultan Mindanao.
Dalam tradisi masyarakat Kepulauan Maluku dikenal juga sebutan Pulau Seram sebagai Nusa Ina – tanah leluhur dan Pulau Mindanao sebagai Maluku Besar.
Hubungan kawasan tersebut memang erat. Petinju Filipina Manny “Pacman” Pacquiao dikenal berasal dari Pulau Sarangani yang secara etnis memiliki kemiripan dengan etnis Sangir-Talaud di Sulawesi Utara.
Pulau Sarangani dan Pulau Balut di dekat Kota General Santos itu terletak tidak jauh dari Pulau Marore wilayah paling ujung perbatasan Sulawesi Utara.
Kandidat doktor ilmu sejarah Roderick Orlina di Murdoch University, Perth Australia bercerita kedekatan hubungan regional Maluku Utara, Sulawesi Utara dan Filipina Selatan hingga Sabah dan Kalimantan Utara.
“Memang ada kedekatan dan hubungan tradisional yang berlangsung sebelum kedatangan Bangsa Eropa,” kata Orlina yang warga Amerika Serikat berdarah Filipina.
Guru besar sejarah maritim Universitas Indonesia (Alm) Adrian B Lapian dalam buku "Orang Laut Bajak Laut Raja Laut" mengungkapkan kawasan Kepulauan Sulu dan Mindanao sejak tahun 1700-an dan 1800-an sudah ditakuti karena aktivitas bajak laut dan perompakan.
Dalam kosa kata Melayu di Indonesia dikenal sebutan “Perompak Lanun”. Lanun itu merujuk pada wilayah Lanao di sebelah barat Mindanao dekat dengan wilayah Kepulauan dan Kesultanan Sulu.
Orang Spanyol di Filipina menyamaratakan “Lanun” untuk menyebut etnis Maranao, Ilanun, Mangindano Tausug dan Samal. Kelompok etnis Tausug dan Samal adalah penghuni Kepulauan Sulu.
Lapian dalam buku lainnya "For Better of Worse" menjelaskan di tahun 1600-an Laut Sulawesi sekitar Kepulauan Sulu-Mindanao-Sulawesi Utara dan Kalimantan Utara merupakan salah satu pusat ekonomi dan politik.
Adapun Kesultanan Sulu dinilai Adrian Lapian lebih maju dari Kesultanan Mindanao. Namun pada awal 1800-an, Kesultanan Sulu sudah merosot. Pada tahun 1700-an dan medio 1800-an para penjelajah Barat menyaksikan Kesultanan Sulu masih kuat.
Salah satu penjelajah adalah Thomas Forrest orang Amerika yang membantu Thomas Raffles menulis mahakarya "History of Java". Para Bangsawan lokal yang bergelar Datu memegang kekuasaan, Kesultanan Sulu mengenal gelar Laxamana yang lebih menjadi utusan Sultan Sulu dibandingkan Laksamana dalam tradisi Kesultanan Melayu di barat Nusantara.
Adanya tradisi memungut upeti atas kapal-kapal di perairan Sulu mengakibatkan Spanyol melancarkan perang tahun 1851. Sejak itulah wilayah Sulu-Mindanao menjadi panas. Perang Sulu terjadi enam kali hingga kekuasaan Spanyol berakhir tahun 1898.
Lino Miani dalam buku "The Sulu Arms Market – National Responses to a Regional Problem" mengungkapkan, pihak Jerman dan Inggris pernah berhubungan baik dan memasok senjata bagi Kesultanan Sulu. Penyelundupan senjata mulai marak di tahun 1800-an.
Pada masa pendudukan Amerika Serikat, Kesultanan Sulu dan Mindanao sempat dalam keadaan damai. Mereka juga pernah meminta menjadi bagian dari Amerika Serikat lepas dari pengaruh warga Tagalog (orang Filipina utara).
Setelah Perang Dunia II situasi kembali memanas. Gerakan Komunis (New People’s Army) muncul hingga terbentuk Moro National Liberation Front (MNLF) dipimpin Nur Misuari yang berasal dari etnis Tausug di tahun 1970.
Dalam masa itu, kegiatan penyelundupan marak di kawasan tersebut untuk membiayai gerakan bersenjata. Lino Miani menambahkan pada tahun 1969, pemerintah PM Tunku Abdurahman melatih perang 70 aktivis Moro di Pulau Pangkor, Malaysia.
Migran dari Indonesia, aktivis keagamaan dari Mesir dan Malaysia mulai banyak masuk ke wilayah Sulu dan Mindanao. Di saat sama tahun 1970-an, Menteri Besar (setingkat Gubernur Negara Bagian) di Sabah dijabat Tun Mustafa. Mulailah membanjir imigran dari Sulu-Mindanao dan Indonesia Timur.
Konsul Muda Republik Indonesia tahun 2002-2004 di Tawau, Makdum Taher menjelaskan landscape kependudukan pantai timur Sabah seperti di Tawau, Semporna didominasi pendatang dari Sulawesi Selatan, NTT dan Jawa Timur.
Warga Indonesia juga masih ada di Sandakan. Sedangkan warga asal Sulu-Mindanao hingga Visayas mendominasi Sandakan dan Lahad Datu. Filipina pun tahun 1960-an masih memiliki klaim hingga kini terhadap Sabah yang dianggap sebagai bagian Kesultanan Sulu.
“Wilayah Ice Box di sebelah Tawau dulu jadi “Texas” banyak perampokan bersenjata yang kemudian lari ke wilayah Sulu,” kata Makdum Taher.
Jejaring masyarakat lintas negara tradisional antara Kalimantan Utara di Tarakan – Nunukan dan masyarakat Sabah di Tawau hingga Sandakan – Lahad Datu hingga warga di Pulau Sibutu, Tawi-Tawi, Jolo-Basilan hingga Kota Zamboanga di ujung barat Mindanao adalah satu entitas.
Penyelundupan – smokel – hingga penjualan senjata gelap dan penculikan merupakan bagian keseharian. Hanya wilayah Sabah, Kota Tarakan di Kalimantan Utara dan Zamboanga di ujung barat Mindanao yang tergolong aman dan stabil.
Profil wilayah dan penduduk yang penuh kekerasan dan instabilitas itulah yang dihadapi dalam upaya membebaskan sandera 10 WNI awak Kapal Tunda Brahma 12.
No comments:
Post a Comment