Ia menanggapi kasus salah tangkap yang terjadi pada Selasa (29/12/2015) di Solo, Jawa Tengah.
Dua warga Solo yang hendak ke masjid ditangkap oleh Densus 88. Namun, saat diperiksa, ternyata keduanya bukan teroris.
"Kasus salah tangkap seperti itu bisa mengurangi tingkat profesionalitas Densus 88 dalam memerangi terorisme di Indonesia," kata Saleh melalui keterangan tertulisnya, Kamis (31/12/2015).
"Terlebih lagi, mereka yang salah tangkap juga mengalami tindak kekerasan fisik dan psikis," ujarnya.
Saleh mengatakan, kasus salah tangkap oleh Densus 88 bukan baru kali ini terjadi.
Ia menyebutkan, kasus yang sama terjadi pada pertengahan Mei 2014, juga di Solo. Korban yang tertangkap saat itu bernama Kadir dari Desa Banyu Harjo.
Kasus lainnya terjadi pada akhir Juli 2013. Densus 88, papar Saleh, juga menangkap dua warga Muhammadiyah.
Penangkapan lainnya dilakukan terhadap 14 warga Poso pada 2012.
"Walaupun sudah jelas salah tangkap, pihak Densus 88 atau Kepolisian RI secara kelembagaan kelihatannya belum pernah menyatakan permintaan maaf kepada korban dan juga publik," kata Saleh.
Oleh karena itu, Saleh meminta agar Kepolisian RI setidaknya melakukan dua hal. Pertama, meminta maaf kepada korban dan keluarganya karena keduanya tentu merasa dirugikan, baik fisik maupun psikis.
Sementara itu, hal lainnya adalah melakukan perbaikan prosedur penangkapan terduga teroris.
Informasi intelijen yang diberikan kepada Densus 88, menurut Saleh, harus benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga eksekutor di lapangan tak lagi melakukan kesalahan serupa.
"Kita memahami bahwa terorisme sangat mengancam eksistensi NKRI. Meski demikian, penanganannya harus betul-betul cermat dan hati-hati. Dengan begitu, prestasi-prestasi yang dimiliki kepolisian, dan khususnya Densus 88, tidak ternodai," ucap politisi PAN tersebut.
No comments:
Post a Comment