Kisah Nelayan Kecil Membangun Pasar untuk Melawan Tengkulak


Pasar Bahari dibangun oleh para nelayan Kota Bengkulu untuk melawan praktik tengkulak

BENGKULU,  Pasar merupakan sarana terbaik bagi para nelayan untuk menjual hasil tangkapannya secara langsung kepada konsumen untuk menghindari praktik tengkulak yang cenderung merugikan.
Pertimbangan inilah yang membuat Ali Syukur Simatupang, ketua Nelayan Jangkar Emas, Kota Bengkulu, bersama ratusan nelayan kecil lainnya membangun Pasar Bahari secara swadaya.
"Pasar ini didirikan pada tahun 2011 berangkat dari keresahan nelayan kecil terhadap tingginya praktik tengkulak. Pasar didirikan di atas tanah seperempat hektar yang dipinjam dari PT Pelindo II," kata Ali Masykur, Kamis (25/8/2016).
Saat ini terdapat 128 orang yang mendapatkan lapak-lapak berjualan di pasar tersebut. Sebagian besar pedagang di Pasar Bahari itu adalah istri para nelayan kecil dan beberapa orang petani.
"Jadi suaminya bekerja sebagai pencari ikan atau nelayan, istrinya yang berdagang di pasar yang kami bangun secara bersama ini," cerita Ali.
Ia mengisahkan, pasar tersebut awalnya berada di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pelabuhan Pulau Baai, Kota Bengkulu. Namun pasar tersebut tak terawat, kumuh, macet, dan sering terjadi tindakan kriminal dan pemalakan oleh oknum.
Lalu, para nelayan bertemu dengan PT Pelindo II Wilayah Bengkulu untuk meminjam tanah seluas seperempat hektar yang terletak di tepi jalan raya itu.
Pelindo menyewakan tempat itu seharga Rp 60 juta yang disepakati dengan surat tertulis. Uang sebesar itu nantinya dikumpulkan dari patungan nelayan yang per orang dipinta Rp 300.000.
"(Namun) uang masih kurang dari Rp 60 juta," jelas Ali tertawa.
Untuk menyiasati kekurangannya, ia dan nelayan bersepakat agar pedagang diminta iuran Rp 2.000 per hari. Uang tersebut bukan hanya untuk menutupi kekurangan, tetapi untuk biaya kebersihan, kemanan, listrik dan air.
"Uang itu kita bayar secara mencicil pada Pelindo, juga digunakan untuk biaya listrik, kebersihan dan jaga malam," kata Ali.
Pasar yang beroperasi dari pukul 13.00 WIB hingga 18.00 WIB ini memiliki perputaran uang per hari berkisar Rp 70 juta.
Pasar ini semakin berkembang. Bahkan pedagangnya bukan hanya para istri nelayan, tetapi juga pedagang lain yang mulai banyak berdatangan.
Meski pasar tersebut mulai ramai, namun perhatian dari pemerintah setempat masih minim. Ali menyatakan, pasarnya hanya dijadikan target kampanye saat pemilu dan pilkada saja.
"Kalau pemilu dan pilkada, pasar saya selalu diserang politikus cari suara, namun saat mereka terpilih jadi kepala daerah dan anggota DPRD, mereka lupa dengan janjinya," kata Ali.

No comments:

Post a Comment