Saat Penganut Ahmadiyah Kesulitan Dapatkan E-KTP...


Salah seorang petugas terlihat sedang mengecek KTP di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Tigaraksa Tangerang, Senin (31/8/2016). Sebagian besar warga mengurus e-KTP, KK, dan akta kelahiran.

JAKARTA,  Kartu Tanda Penduduk (KTP) kian hari menjadi begitu penting bagi masyarakat Indonesia. Tak heran, berbagai layanan publik dewasa ini mensyaratkan data kependudukan warga dalam KTP. Pekerjaan, pendidikan, pencatatan pernikahan, hingga layanan kesehatan membutuhkan data tersebut.
Namun, masih ada kendala yang dirasakan sebagian warga negara Indonesia guna mendapatkan KTP. Masalah itu timbul karena hadirnya diskriminasi terhadap agama dan kepercayaan minoritas.
Ini seperti dialami Nurhalim, warga Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Sejak 2012, Nurhalim tak dapat melakukan perekaman e-KTP karena diketahui sebagai penganut Ahmadiyah.
Nurhalim menjelaskan, kesulitan mendapatkan e-KTP awalnya muncul karena adanya fatwa MUI setempat mengenai Ahmadiyah.
"Kami awalnya kesulitan karena ada fatwa MUI itu," tutur Nurhalim saat menyambangi Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Selasa (6/12/2016).
Namun, Nurhalim dan 1.600 warga Desa Manislor lainnya tak menyerah memperjuangkan haknya. Mereka kemudian menemui para ulama dan pesantren di Kabupaten Kuningan guna memberi pengertian mengenai Ahmadiyah.
Upaya itu membuahkan hasil. Hubungan penganut Ahmadiyah dengan ulama setempat saat ini mulai membaik. Meski tak dipungkiri masih ada tekanan dari gerakan intoleran.
"Setelah kami temui para ulama, tekanan itu semakin berkurang. Sekarang hubungan kami dengan ulama di Kabupaten Kuningan sudah membaik," kata Nurhalim.
Setelah hubungan dengan ulama membaik, Nurhalim berpikir penganut Ahmadiyah di Desa Manislor sepatutnya juga bisa mendapatkan e-KTP. Namun, masih ada juga warga yang kesulitan mendapatkan akses pelayanan e-KTP.
"Sampai sekarang kami tidak dilayani sama sekali," ucap Nurhalim.
Berbagai upaya pun terus dilakukan. Mulai dari meminta bantuan advokasi YLBHI, melapor ke Komnas HAM, Ombudsman RI, hingga menemui Kementerian Dalam Negeri.
Bahkan, Kemendagri telah menindaklanjuti pengaduan warga Desa Manislor. Kemendagri sudah menyurati Bupati Kuningan agar dapat memberikan e-KTP kepada penganut Ahmadiyah.
Akan tetapi, seluruh upaya yang dilakukan Nurhalim dan warga Desa Manislor tak berdampak signifikan.
Memang saat ini Pemerintah Kabupaten Kuningan membolehkan penganut Ahmadiyah mendapatkan e-KTP. Namun, Pemerintah Kabupaten Kuningan mensyaratkan berbagai ketentuan yang harus ditandatangani sebelum perekaman data bisa dilakukan.
Padahal, persyaratan tersebut tak ada dalam ketentuan mendapatkan e-KTP. Berdasarkan surat edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 12 Mei 2016 disebutkan warga cukup membawa fotokopi Kartu Keluarga untuk merekam data e-KTP.
"Bupati Kuningan bilang isi persyaratan kalau ingin mendapatkan e-KTP. Ada empat persyaratan. Padahal persyaratan ini kan tidak ada," kata Nurhalim.
Komisioner Ombudsman RI, Ahmad Suaedy, menilai masalah yang menimpa warga Desa Manislor merupakan bentuk diskriminasi terhadap penghayat agama dan kepercayaan minoritas, khususnya dalam pemberian pelayanan publik.
Menurut dia, setiap warga negara seharusnya berhak memperoleh pelayanan publik yang setara, termasuk dalam perekaman data e-KTP.
Akses terhadap pelayanan publik tak boleh diklasifikasikan berdasarkan agama, kepercayaan, maupun kelas sosial.
"Seharusnya pelayanan publik diselenggarakan secara baik dan berkeadilan untuk seluruh warga negara," ujar Suaedy.
Menurut Suaedy, diskriminasi dalam pelayanan publik seperti perekaman e-KTP dapat mengancam hak-hak dasar kelompok minoritas.
"Diskriminasi tersebut berdampak pada hilangnya hak-hak dasar mereka, seperti hak penghidupan, ekonomi, pendidikan, layanan kesehatan, dan hak politik pemerintahan," tutur Suaedy.
Untuk itu, Suaedy meminta pemerintah pusat memberikan sanksi tegas kepada pemerintah Kabupaten Kuningan. Dia berharap, sanksi tegas dari pemerintah dapat memberikan efek jera supaya diskriminasi terhadap Jemaat Ahmadiyah tidak terulang.
"Pemerintah harus memberi sanksi," kata dia.

Selain itu, Suaedy juga meminta pemerintah membuat terobosan aturan guna memudahkan akses pelayanan publik penghayat agama dan kepercayaan minoritas di Indonesia.
Menurut dia, tak adanya aturan khusus membuat penghayat agama dan kepercayaan minoritas kesulitan mengakses pelayanan publik.
Untuk saat ini, kata Suaedy, aturan itu dapat berupa Instruksi Presiden (Inpres) maupun Keputusan Presiden (Keppres).
Ini dimaksudkan agar kekosongan regulasi yang mengatur mengenai pelayanan publik kepada penghayat agama dan kepercayaan minoritas bisa teratasi.
"Ini Presiden seharusnya yang mengeluarkan terobosan aturan. Karena beberapa kendala itu berupa UU. Tapi tidak ada alasan karena tidak ada UU jadi tidak dilayani. Hanya perlu terobosan saja. Perlu instruksi atau Keppres," ucap Suaedy.

No comments:

Post a Comment