Alasan PGI Desak Pemerintah Moratorium Hukuman Mati


Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom dalam sebuah diskusi bertajuk 'Hak Hidup dan Hukuman Mati dalam Teologi Agama-Agama' di Jakarta, Selasa (6/12/2016).

JAKARTA, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom menegaskan bahwa secara institusi, PGI menolak penerapan kebijakan hukuman mati. Oleh karena itu PGI mendesak Presiden Joko Widodo segera memberlakukan moratorium terhadap hukuman mati.
"PGI sendiri telah berkali-kali menulis protes ke Pemerintah. Kami mendesak Pemerintah memberlakukan moratorium hukuman mati," ujar Gomar dalam sebuah diskusi bertajuk 'Hak Hidup dan Hukuman Mati dalam Teologi Agama-Agama' di Jakarta, Selasa (6/12/2016).
Ada beberapa alasan yang mendasar sikap dari PGI tersebut. Menurut Gomar, pemerintah dinilai tidak etis jika mempermainkan hidup seseorang melalui peraturan hukum dan perundang-undangan.
Gomar berpandangan, hidup merupakan pemberian Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
"Tidak etis jika negara mempermainkan hidup melalui hukum dan undang-undang," ungkapnya.
Di sisi lain, PGI meragukan anggapan bahwa hukuman mati bisa memberikan efek jera. Gomar menuturkan, efek jera hukuman mati hanya mitos.
Dia mencontohkan eksekusi mati terhadap terpidana terorisme Imam Samudera, Amrozi dan Ali Gufron ternyata tidak mengurangi aksi terorisme.
Bahkan, kata Gomar, kematian mereka menjadi sebuah simbol baru untuk merekrut generasi muda agar mau mati syahid.
"Aksi terorisme tidak berkurang dengan adanya eksukusi mati. Takbada jaminan sama sekali bahwa hukuman mati akan menimbulkan efek jera dan mengurangi aksi terorisme maupun peredaran narkoba di masa mendatang," kata Gomar.
Kontraproduktif
Selain persoalan efek jera, Gomar juga berpendapat penerapan hukuman mati justru kontraproduktif dalam proses penegakan hukum.
Dia mencontohkan eksekusi mati atas Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marianus Riwu telah memutus rantau kesaksian dan upaya untuk mengungkap pihak yang bertanggung jawab di balik kasus Poso.
Demikian pula dalam eksekusi mati terpidana kasus narkoba Freddy Budiman. Eksekusi Freddy telah menutup penyelidikan atas keterlibatan oknum penegak hukum dalam peredaran narkoba.

"Dari kedua kasus ini bisa dilihat hukuman mati kontraproduktif dalam proses penegakan hukum. Bahkan eksukusi hukuman mati bisa dijadikan sebagai alat untuk membungkam seseorang agar kesaksiannya tidak terungkap untuk melindungi kelompok tertentu," ucapnya.
Gomar pun mengingatkan bahwa hak hidup merupakan hak asasi yang tidak bisa dilanggar.
Hal itu tercantum dalam Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik. Dalam pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 juga ditegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
"Sesungguhnya ini telah menegaskan bahwa konstitusi tidak mengizinkan terjadinya praktik hukuman mati," tegasnya.

No comments:

Post a Comment