Menjala Asa yang Tersisa di Angke


 Warga berada di pinggir Kali Angke yang melewati Bendung Polor, Kembangan, Jakarta Barat. Bendung Polor merupakan perbatasan wilayah Jakarta Barat dan Kota Tangerang.


Cik cik cik. Bunyi ikan yang muncul di permukaan ini langsung disambut dengan tebaran jala warga di sekitar Bendung Polor, Kota Tangerang. Di tengah perubahan kualitas air, warga masih bisa merasakan manfaat Kali Angke. Manfaat ekonomi dari menjala ikan salah satunya.

Ruswandi (47) tak melepaskan pandangan dari aliran deras air berwarna coklat keruh di hadapannya, Rabu (31/8/2016). Tangannya memegang jala. Sembari mengamati aliran air Kali Angke di bawah Bendung Polor, warga Kelurahan Petir, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, ini bersiap-siap menebar jalanya.

Ia tidak peduli ketika riak-riak kecil terlihat di aliran air itu meskipun itu juga penanda ada ikan di permukaan sungai.

"Kalau di riak-riak, itu hanya ada ikan sapu-sapu. Kalau bunyinya cik cik cik, itu ada ikan lainnya, di luar sapu-sapu. Bisa ikan mujair, lele, mas, dan nila. Kalau lagi beruntung dapat ikan gabus," katanya.

Begitu jala diangkat, tampak dua ekor ikan mujair berukuran 10 cm, satu ekor ikan mas berukuran 15 cm, dan sejumlah ikan sapu-sapu dalam berbagai ukuran.
"Jika sedang beruntung, saya bisa bawa ikan mas, mujair, lele, dan gabus ke rumah. Bisa lebih dari 2 kilogram," ujarnya.

Ikan sapu-sapu dijual dengan harga murah ke pengepul yang mendatangi penjala ikan. Setiap kilogram ikan sapu-sapu dihargai Rp 3.000-Rp 5.000.

Beragam aspek

Hidup berdampingan dengan aliran Kali Angke membuat warga merasakan semua aspek.

Saat hujan deras, air melimpah dan meluap. Bukan hanya ikan-ikan yang didapat, kampung warga juga terendam.

Itu juga yang dirasakan tim Kompas. Gerimis masih turun dan awan hitam menggelayut di langit saat kami menuju areal permukiman.

Menyeberangi jembatan Bendung Polor, sisa-sisa luapan air Kali Angke yang merendam permukiman warga Petir, Cipondoh, Tangerang, masih terlihat. Karung-karung berisi tanah ditumpuk tepat di pinggir kali yang berhadapan dengan jalan kampung. Tiga hari sebelumnya, Kali Angke meluap dan merendam perkampungan.

"Itu sebabnya, warga swadaya mengisi karung-karung dengan tanah dan membuat tanggul darurat di tepi kali," ujar Hasan Basri, Ketua RW 007, Kelurahan Petir, Cipondoh.

Warga pun masih berjaga-jaga lantaran gerimis yang berubah menjadi hujan deras siang itu.

"Saat hujan deras, ikan-ikan memang bermunculan, tetapi lebih banyak ikan sapu-sapu. Setelah dijala, ikan dibersihkan dan daging ikan dibeli pengumpul," ujar Hasan Basri.

Sayang, Kali Angke yang sempat menjadi tempat hidup ikan-ikan lezat seperti tawes, baung, juga gabus kini tinggal kenangan. "Sekarang, kali sudah penuh limbah. Ikan yang tinggal hanya sapu-sapu. Dulu, waktu saya masih kecil, saya biasa mandi di Kali Angke dan memancing ikan," ujarnya.

Apabila kemarau tiba, debit air Angke turun. Bau limbah yang dibuang ke Angke kian tercium.

Jalur berkelok

Sisa-sisa luapan air Kali Angke terlihat jelas saat tim Kompas menyusuri kali keesokan harinya. Kamis (1/9) pagi, matahari bersinar terik.

"Airnya cukup tinggi. Aman untuk perahu," ujar Agung Budhi dari Humas Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) yang siang itu menemani kami menyusuri sungai.

Hujan sehari semalam membuat debit air Angke cukup deras dan tinggi. Perahu mengambang. Tanpa kesulitan, kami segera naik ke perahu karet.

Dua perahu karet meluncur di air kali yang sangat keruh. Berawal di Pondok Bahar, Kota Tangerang, Banten, kami menuju Bendung Polor, Petir, Kecamatan Cipondoh, titik perbatasan Kota Tangerang dan Jakarta Barat, sejauh 12,65 km. Kami mulai menyusuri kali yang populer sebagai jalur transportasi air dan pengangkutan hasil bumi di masa lampau itu.

Perahu karet melaju kencang mengikuti aliran kali yang berkelok-kelok. Sebagian besar tebing kali masih asli, belum dibeton. Sesekali, laju perahu tertahan ranting pohon yang tumbuh ke arah badan kali. Ada pula saat ketika luberan sampah rumah tangga menghadang perahu kami.

Dari setiap kelokan, terlihat bentuk sungai menyempit dan melebar. "Diperkirakan, dulunya kali ini lebih lebar. Sekarang, kali ini menyempit akibat pendangkalan," kata Agung.

Di beberapa titik, khususnya di kawasan perumahan besar di Karang Tengah, Tangerang, tebing kali sudah berubah menjadi tebing beton. Di titik itu, proyek normalisasi sudah dilakukan. Tembok beton yang tinggi menyisakan rasa terkurung dan terkungkung saat kami melintas di tengah sungai.

Pemandangan kembali beralih setelahnya. Kini, perkebunan rakyat juga lahan tidur terlihat di sisi sungai.

Etape satu berakhir ketika perahu melewati areal perkebunan besar. Perahu mesti diangkat dan dipindahkan ke bawah Bendung Polor. Sebab, air yang terjun ke bendung itu sangat deras, tidak mungkin disusuri perahu.

Limbah di sungai

Begitu perahu dipindahkan, etape kedua sejauh 8 km dari Bendung Polor menuju Cengkareng Drain di Jakarta Barat dimulai. Di sini, Kali Angke begitu tenang.

Mata sempat dimanjakan dengan satu area yang masih hijau. Pohon-pohon besar tumbuh di kanan-kiri kali dan tajuk pohon membuat kanopi di atas kali sehingga suasana sejuk dan teduh. Beberapa biawak terlihat tengah bersantai di bebatuan di bawah pohon besar itu.

Namun, perilaku warga yang tidak sayang kali mulai terlihat. Di beberapa titik terlihat tebing longsor. Tanah dipenuhi sampah yang terbawa luapan air.

Kandang kambing, sapi, juga ayam berdiri persis di tepi kali. Kotoran hewan peliharaan itu pun langsung terbuang ke kali saat kandang dibersihkan.

Semakin dekat ke Cengkareng Drain, sebagian warga masih membuang sampah di tepian sungai. Sejumlah kakus juga berdiri di tepi sungai.

Industri rumah tangga tahu tempe juga masih membuang limbah cair ke kali.

Kepala BBWSCC Teuku Iskandar menyebutkan, sesuai rencana, normalisasi Kali Angke berakhir di Cengkareng Drain.

Secara keseluruhan, Angke memiliki potensi pariwisata dan transportasi air. Sayangnya, potensi itu belum digali.

No comments:

Post a Comment