Sebelum Ungkap "Curhat" Freddy Budiman, Haris Azhar Sempat Hubungi Pihak Istana


Koordinator Kontras, Haris Azhar di Kantor Kontras, Senen, Jakarta, Minggu (19/6/2016).

JAKARTA,  Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan, dia sempat bercerita kepada pihak Istana Kepresidenan terkait kesaksian Freddy Budiman.
Kepada Haris, Freddy bercerita adanya keterlibatan oknum Badan Narkotika Nasional, Polri, dan Bea Cukai dalam peredaran narkoba yang dilakukannya. Haris pun melanjutkan cerita itu ke Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP.
"Senin (24/7/2016) sore saya telepon Johan Budi. Dia kaget dan dia merasa ini penting," kata Haris di Kontras, Jakarta, Jumat (29/7/2016).
Haris mengatakan, Johan meminta kepadanya untuk tidak membicarakan kesaksian Freddy kepada awak media. Johan berharap dapat memberitahukan informasi itu kepada Presiden Joko Widodo.
Haris menunggu kabar dari Johan. Namun, hingga Kamis (28/7/2016), kabar dari Johan tidak juga datang.
Haris mengirimkan tulisan kepada Johan. Dia meminta maaf karena terpaksa melanggar janjinya untuk tidak mempublikasikan kesaksian Freddy.
Menurut Haris, persoalan penegakan hukum merupakan kepentingan yang lebih besar.
"Akhirnya tulisan saya kirim ke Johan. Dia langsung telepon saya. Johan Budi di telepon hanya bilang, 'Mas, silakan Anda bicara dengan Presiden, masih ada waktu'," ucap Haris.
Haris menduga Johan tidak mengetahui bahwa eksekusi mati dilakukan pada Jumat (29/7/2016) dini hari.
Saat itu, Johan berjanji akan menyampaikan pada Presiden meski tidak dapat menjamin apa reaksi presiden.  
Freddy mengaku hanya operator
Menurut Haris, Freddy bercerita ia hanyalah sebagai operator penyelundupan narkoba skala besar. Saat hendak mengimpor narkoba, Freddy menghubungi berbagai pihak untuk mengatur kedatangan narkoba dari China.
"Kalau saya mau selundupkan narkoba, saya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang yang saya hubungin itu semuanya titip harga," kata Haris.

Freddy bercerita kepada Haris, harga narkoba yang dibeli dari China seharga Rp 5.000. Sehingga, ia tidak menolak jika ada yang menitipkan harga atau mengambil keuntungan penjualan Freddy.
Oknum aparat disebut meminta keuntungan kepada Freddy dari Rp 10.000 hingga Rp 30.000 per butir.
"Karena saya bisa dapat 200.000 per butir. Jadi kalau hanya bagi rejeki Rp 10.000 - Rp 30.000 ke masing-masing pihak dalam institusi tertentu, itu tidak masalah. Saya hanya butuh Rp 10 M barang saya datang," ucap Haris, menirukan Freddy.
"Dari keuntungan penjualan saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu," ucap Freddy kepada Haris.
Dalam kesempatan itu, Freddy menyampaikan rasa kecewanya terhadap penegak hukum yang tidak tersentuh. Freddy bercerita selama menyelundupkan narkoba, ia telah memberikan puluhan miliar kepada oknum.
"Kemana orang-orang itu? Saya sudah berikan uang ke BNN Rp 40 miliar, Rp 90 miliar ke pejabat tertentu di di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2 di mana si jenderal duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun," ucap Freddy.
Tanggapan Polri dan BNN
 
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan Polri telah mengagendakan pertemuan dengan Koordinator Kontras Haris Azhar terkait tulisan dia tentang Freddy Budiman, terpidana mati narkotika yang dieksekusi Jumat (29/7/2016) dini hari.
Boy mengaku bahwa Polri telah menghubungi Haris dan mengajaknya berdiskusi untuk mendalami tulisan Haris yang menyatakan Freddy hanya bagian dari permainan bandar besar narkotika, dengan petinggi Polri dan BNN turut terlibat di dalamnya.

Sedangkan Kepala Bagian Humas BNN Komisaris Besar Slamet Pribadi mengatakan, BNN akan menindak tegas kalau ada oknum anggotanya terlibat dalam bisnis narkoba Freddy.
 
"Jika terbukti, oknum BNN membantu Freddy Budiman dalam melancarkan bisnis narkobanya, maka BNN akan memberikan sanksi yang tegas dan keras sesuai dengan aturan hukum yang berlaku," kata Slamet.

No comments:

Post a Comment