BANDAR LAMPUNG, Tim Direktorat Jenderal Pajak menangkap SP, tersangka pengemplang
pajak senilai Rp 6,6 miliar. Tersangka SP masuk dalam daftar pencarian
orang Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Bengkulu-Lampung sejak
Maret 2015.
Hal itu disampaikan Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Bengkulu-Lampung Rida Handanu ketika
dihubungi dari Bandar Lampung, Kamis (28/7/2016).
"Tersangka
berinisial SP menjadi buron sekitar dua tahun. SP ditangkap di rumah
kontrakannya di Jakarta pada Rabu (27/7/2016)," kata Rida.
Menurut
Rida, tersangka adalah Komisaris PT KAM yang memiliki usaha penjualan
pupuk urea, TSP, NPK, dan KCL. Pupuk produksinya dijual ke sejumlah
perusahaan yang membutuhkan. Dalam setiap penjualan, PT KAM memungut
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dari pembeli dan harus
disetorkan kepada negara.
"Namun, mulai Januari 2011 sampai
Desember 2012, Pajak Pertambahan Nilai itu tidak pernah disetorkan oleh
tersangka. Akibatnya, negara dirugikan Rp 6,6 miliar," kata Rida.
Tersangka
SP dijerat Pasal 39 Ayat 1 juncto Pasal 43 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. SP terancam
hukuman enam tahun penjara.
Rida menambahkan, proses penyidikan
terhadap SP dimulai sejak 2014. Dalam proses penyidikan tersebut,
tersangka sudah diimbau menyetorkan PPN agar ia tidak terkena pidana.
"Imbauan
itu tidak diindahkan hingga berkas penyidikannya selesai dan dinyatakan
P21 (lengkap) oleh Kejaksaan Tinggi Lampung. Namun, saat penyidik
melakukan panggilan lanjutan, tersangka justru mengabaikan panggilan dan
melarikan diri," kata Rida.
Sudah divonis
Selain
SP, kasus itu juga menyeret mantan Direktur PT KAM Deusti Setiadi.
Namun, Deusti Setiadi telah divonis bersalah karena terbukti
menggelapkan pajak Rp 6,6 miliar.
Hakim Tindak Pidana Korupsi
Tanjung Karang memvonis Deusti dengan hukuman satu tahun dan empat bulan
penjara serta denda Rp 12 miliar subsider tiga bulan penjara. Vonis
tersebut dijatuhkan pada 7 Mei 2015.
Hukuman yang diterima Deusti
lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum. Dalam sidang,
Deusti dituntut dua tahun penjara dan denda Rp 12 miliar subsider enam
bulan penjara.
Rida mengatakan, penegakan hukum terhadap
tersangka SP diharapkan dapat menimbulkan efek jera. Hal itu ditujukan
agar kasus penggelapan pajak tidak terus berulang. "Masyarakat harus
taat pajak, terlebih tahun ini merupakan tahun penegakan hukum dan tahun
pertama diberlakukannya pengampunan pajak," katanya.
Untuk
menindaklanjuti kasus ini, Kanwil DJP Bengkulu-Lampung bekerja sama
dengan Direktorat Kriminal Khusus Polda Lampung. Direktur Kriminal
Khusus Polda Lampung Komisaris Besar Dicky Patria Negara mengatakan,
pihaknya siap mendukung penindakan kasus penggelapan pajak.
"Kami akan mengawal kasus ini hingga rampung. Kami siap membantu penyidikan sejauh dibutuhkan," kata Dicky.
Belum tepat
Dosen
Fakultas Hukum Universitas Lampung, Hieronymus Soerja Tisnanta, menilai
hukuman yang diterima pengemplang pajak belum sepenuhnya tepat. Sebab,
sejumlah vonis yang kerap dijatuhkan tetap tidak mampu menambah
pemasukan negara dari pajak.
"Pajak sebenarnya menjadi sumber
keuangan negara yang paling vital. Namun, hukuman bagi para pengemplang
pajak selama ini hanya tertuju pada efek jera. Padahal, hukuman itu
tidak otomatis menghilangkan besaran pajak yang seharusnya dibayarkan,"
tuturnya.
Dalam perpajakan, target utama bukanlah menghukum para
pengemplang pajak, melainkan pajak yang menjadi kewajiban para wajib
pajak dibayarkan dan negara mendapat pemasukan.
Jika hukuman bagi
pengemplang pajak berhenti pada pidana penjara dan denda, pemasukan
negara tetap tidak akan bertambah. "Karena itu, selain mendapat hukuman
pidana penjara dan denda, hakim yang memutus perkara tetap harus
mencantumkan klausul ganti rugi atas kerugian negara," katanya.
Maraknya
kasus penggelapan oleh wajib pajak dipengaruhi rumitnya birokrasi
pembayaran pajak. Ketika wajib pajak mau membayar, ada proses panjang
yang kerap menyulitkan wajib pajak. Selain itu, proses penghitungan
antara petugas penarik pajak dan wajib pajak kerap tidak menemui titik
temu.
"Pembayaran PPN seharusnya dibayarkan setiap transaksi.
Namun, kerap terjadi penarik pajak tidak tahu kapan transaksi dilakukan.
Setelah mengetahui ada nilai pajak yang sangat besar, baru petugas
penarik pajak melakukan penarikan. Saat itu, wajib pajak kerap kesulitan
membayar besaran pajak yang ditetapkan," ujarnya. (GER)
No comments:
Post a Comment