Jumlah Anggaran Eksekusi Mati Dinilai Jadi Bukti Pemberantasan Narkoba Tak Serius
Aksi solidaritas yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat menyalakan 1000 lilin saat aksi damai di Depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (28/7/2016). Aksi damai tersebut meminta agar pemerintah menghentikan pelaksanaan eksekusi mati terhadap ke empat belas terpidana mati dari berbagai negara.
JAKARTA, Pemerintah dinilai tak serius memberantas peredaran narkoba. Anggapan itu tampak dari anggaran yang dialokasikan untuk mengeksekusi terpidana mati kasus narkoba yang tak sebanding dengan dana penyelesaian anggaran. "Pemerintah tidak berniat menegakkan hukum. Pemberantasan peredaran narkoba hanya omong kosong belaka. Untuk eksekusi satu orang anggarannya mencapai hampir Rp 500 juta," ujar pengacara publik sekaligus direktur YLBHI, Julius Ibrani saat memberikan keterangan di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (31/7/2016).
Julius menjelaskan, berdasarkan hasil kajian, diketahui anggaran untuk eksekusi mati diberikan kepada dua institusi yakni, Kejaksaan Agung dan Polri.
Untuk mengeksekusi seorang terpidana mati, Kejaksaan Agung mendapat Rp 200 juta, sedangkan kepolisian mendapat Rp 247.112.000. Artinya dibutuhkan anggaran sebesar Rp. 447.112.000 untuk eksekusi.
Sementara untuk penyelesaian perkara, pemerintah menganggarkan maksimal Rp 6 juta bagi kepolisian dan Rp 3 sampai Rp 6 juta untuk kejaksaan.
"Bayangkan jika satu perkara mulai dari penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan hanya diberikan Rp 6 juta tapi kenapa eksekusi mencapai Rp 500 juta. Anggaran untuk eksekusi lebih besar daripada untuk penegakan hukumnya," kata Julius.
Sementara itu Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia berpendapat apabila Pemerintah serius dalam aspek penegakan hukum maka penerapan eksekusi mati tidak akan menjadi pilihan.
Pemerintah, melalui aparat penegak hukum, seharusnya fokus dalam mencari sejauh mana keterlibatan terdakwa terpidana mati dalam sindikat pengedar narkoba.
Putri pun menilai ada sesuatu yang ingin ditutupi oleh Pemerintah, mengingat empat terpidana mati yang dieksekusi pada tahap III merupakan saksi kunci dan dianggap mengetahui alur jaringan sindikat pengedar narkoba di Indonesia.
"Kalau mau pembenahan jangan dieksekusi, karena hanya memutus mata rantai sindikat. Saya melihat ada tanda tanya besar, kenapa dieksekusi secara terburu-buru. Apa karena ada pelanggaran hukum oleh aparat?" Ungkap Putri.
Seperti diketahui, empat terpidana mati dieksekusi di Lapangan Tembak Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (29/7/2016) dini hari. Mereka yang dieksekusi adalah Freddy Budiman, Seck Osmane, Michael Titus, dan Humphrey Ejike. Freddy adalah satu-satunya warga Indonesia, sementara tiga lainnya berasal dari Nigeria.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment