Presiden Joko Widodo bersama Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Padjaitan, politisi senior Partai Golkar serta Pimpinan DPD Provinsi Partai Golkar dalam acara penutupan Rapat Pimpinan Nasional di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (28/7/2016)
JAKARTA, - Keputusan Partai Golkar untuk mendukung Joko Widodo pada Pemilu Presiden 2019 dinilai kembali membuktikan tak ada kader mumpuni di partai berlambang pohon beringin tersebut yang mempunyai elektabilitas dan kapabilitas untuk menjadi presiden.
Sejak kekuasaan presiden kedua RI, Soeharto, runtuh pada 1998 dan digantikan Habibie sampai 1999, Golkar selalu gagal mengantarkan kader terbaiknya untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Pada Pemilihan Presiden 2004, pasangan yang diusung Golkar, Wiranto-Salahuddin Wahid, tidak lolos putaran pertama.
Dalam pilpres pertama yang langsung dipilih oleh rakyat ini, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla keluar menjadi pemenang.
Kalla memang berstatus kader Golkar dan terpilih menjadi ketua umum setelahnya. Namun, posisinya hanya sebagai wakil presiden.
Pada Pilpres 2009, Kalla mencoba peruntungan maju sebagai calon presiden dari Golkar, berpasangan dengan Wiranto yang sudah mendirikan Partai Hanura.
Namun, pasangan ini kalah dari SBY yang kali ini berpasangan dengan Boediono. Golkar tak hanya gagal meraih kursi presiden, tetapi juga wakil presiden.
Pada Pemilu 2014, Golkar bahkan gagal untuk mengusung kadernya sebagai calon presiden atau wakil presiden.
Golkar merelakan diri mengusung Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa. Padahal, perolehan suara Golkar pada pemilu legislatif lebih besar dari Gerindra dan PAN.
Namun, pasangan Prabowo-Hatta juga harus bertekuk lutut kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Kini, jauh sebelum pertarungan Pilpres 2019 dimulai, Golkar seakan sudah menyerah dan mengakui kekalahannya dengan memutuskan mendukung Jokowi yang merupakan kader PDI-P sebagai capres 2019.
Pada Pemilihan Presiden 2004, pasangan yang diusung Golkar, Wiranto-Salahuddin Wahid, tidak lolos putaran pertama.
Dalam pilpres pertama yang langsung dipilih oleh rakyat ini, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla keluar menjadi pemenang.
Kalla memang berstatus kader Golkar dan terpilih menjadi ketua umum setelahnya. Namun, posisinya hanya sebagai wakil presiden.
Pada Pilpres 2009, Kalla mencoba peruntungan maju sebagai calon presiden dari Golkar, berpasangan dengan Wiranto yang sudah mendirikan Partai Hanura.
Namun, pasangan ini kalah dari SBY yang kali ini berpasangan dengan Boediono. Golkar tak hanya gagal meraih kursi presiden, tetapi juga wakil presiden.
Pada Pemilu 2014, Golkar bahkan gagal untuk mengusung kadernya sebagai calon presiden atau wakil presiden.
Golkar merelakan diri mengusung Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa. Padahal, perolehan suara Golkar pada pemilu legislatif lebih besar dari Gerindra dan PAN.
Namun, pasangan Prabowo-Hatta juga harus bertekuk lutut kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Kini, jauh sebelum pertarungan Pilpres 2019 dimulai, Golkar seakan sudah menyerah dan mengakui kekalahannya dengan memutuskan mendukung Jokowi yang merupakan kader PDI-P sebagai capres 2019.
Padahal, jika menilik pada perolehan suara, Golkar bukanlah partai kecil. Setelah menjadi runner-up dan kalah oleh PDI-P pada Pileg 1999, Golkar berhasil bangkit dan memenangi Pileg 2004.
Pada Pileg 2009 dan 2014, Golkar juga kembali menempati urutan nomor dua. Namun, prestasi Golkar di kancah pilpres berbanding terbalik dengan hasil itu.
Sebagai perbandingan, Partai Demokrat yang pada Pileg 2004 hanya menempati urutan kelima dengan 7,45 persen bisa mengantarkan SBY sebagai presiden dengan berkoalisi dengan sejumlah partai lain.
Kutukan kursi RI 1
Pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, menilai, pasca-reformasi, kader Golkar layaknya dikutuk untuk tidak dapat menduduki kursi RI-1.
Namun, Pangi menilai, kegagalan Golkar ini bukan tanpa sebab. Ketidakmampuan Golkar melakukan kaderisasi menjadi faktor utamanya.
Saat Orde Baru berjalan selama 32 tahun, Golkar terlalu bergantung dengan sosok Soeharto sehingga tak memikirkan kaderisasi yang sejatinya harus dilakukan oleh semua partai.
Pada era reformasi, Golkar juga masih terlalu bergantung dengan pemerintah yang berkuasa.
Meski kalah dalam pilpres, Golkar selama dua periode merapat sebagai koalisi pemerintahan SBY dan kini merapat ke Jokowi. Alhasil, kaderisasi di Golkar juga tidak berjalan maksimal.
"Ini menjadi evaluasi terhadap perjalanan Partai Golkar, kadernya belum ada yang mampu menjadi presiden. Ada yang salah dengan sistem kaderisasi Partai Golkar," kata Pangi, Jumat (29/7/2016).
Sebagai perbandingan, Partai Demokrat yang pada Pileg 2004 hanya menempati urutan kelima dengan 7,45 persen bisa mengantarkan SBY sebagai presiden dengan berkoalisi dengan sejumlah partai lain.
Kutukan kursi RI 1
Pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, menilai, pasca-reformasi, kader Golkar layaknya dikutuk untuk tidak dapat menduduki kursi RI-1.
Namun, Pangi menilai, kegagalan Golkar ini bukan tanpa sebab. Ketidakmampuan Golkar melakukan kaderisasi menjadi faktor utamanya.
Saat Orde Baru berjalan selama 32 tahun, Golkar terlalu bergantung dengan sosok Soeharto sehingga tak memikirkan kaderisasi yang sejatinya harus dilakukan oleh semua partai.
Pada era reformasi, Golkar juga masih terlalu bergantung dengan pemerintah yang berkuasa.
Meski kalah dalam pilpres, Golkar selama dua periode merapat sebagai koalisi pemerintahan SBY dan kini merapat ke Jokowi. Alhasil, kaderisasi di Golkar juga tidak berjalan maksimal.
"Ini menjadi evaluasi terhadap perjalanan Partai Golkar, kadernya belum ada yang mampu menjadi presiden. Ada yang salah dengan sistem kaderisasi Partai Golkar," kata Pangi, Jumat (29/7/2016).
Presiden Joko Widodo hadir dalam acara penutupam Rapat Pimpinan
Nasional Partak Golkar di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (28/7/2016)
Pangi pun menilai, Golkar kini tengah memainkan peran yang sama dengan mendeklarasikan dukungan ke Jokowi pada 2019.
Golkar, kata dia, ingin memastikan untuk tetap mendapat kekuasaan pada 2019 mendatang, meski bukan menduduki posisi kepala negara.
Ia menduga Partai Golkar hanya membidik posisi wapres dan sejumlah menteri dan posisi lain di pemerintahan.
"Sangat disayangkan partai sebesar Golkar
tidak menentukan konstelasi politik nasional, belum berhasil menjadi
partai penentu dan berhasil mengantar kader terbaiknya menjadi
Presiden," ucap Pangi.
Sesuai slogan "karya kekaryaan", sejak berdiri pada 1964, Golkar memang selalu dituntut untuk berkarya di dalam pemerintah.
"Namun, sebagai parpol yang pernah berkuasa selama 32 tahun, tak berhasratkah Golkar untuk menempatkan kadernya sendiri menuju kursi RI 1?" ujar Pangi.
Sesuai slogan "karya kekaryaan", sejak berdiri pada 1964, Golkar memang selalu dituntut untuk berkarya di dalam pemerintah.
"Namun, sebagai parpol yang pernah berkuasa selama 32 tahun, tak berhasratkah Golkar untuk menempatkan kadernya sendiri menuju kursi RI 1?" ujar Pangi.
No comments:
Post a Comment