Sejak Mei 1998, Maria Sanu Masih Menunggu Anaknya Pulang...
Mahasiswa Universitas Trisakti berdemonstrasi di depan Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (12/5/2015). Aksi ini untuk memperingati 17 tahun tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang menelan korban empat orang mahasiswa Trisakti saat memperjuangkan reformasi.
JAKARTA, Sudah hampir dua dasawarsa lalu Tragedi Mei 1998 terjadi. Namun, hingga saat ini Maria Sanu (68) tetap belum menemukan kejelasan nasib putranya, Stevanus Sanu, yang saat itu berusia 16 tahun. "Ya Tuhan kalau memang dia takut pulang karena ikut menjarah, tolonglah bimbing dia pulang kembali sampai rumah. Kalau memang dia ikut terbakar, mohon ampuni segala dosanya. Itu doa saya sampai saat ini," ucap Maria.
Kamis siang, 14 Mei 1998, Maria pergi ke luar rumah untuk mencari Stevanus, yang saat itu duduk di bangku kelas dua SMP. Stevanus belum juga pulang sejak pukul 12.00 WIB untuk makan siang.
Maria mencari anaknya itu ke sebuah lapangan bola tempat biasanya Stevanus bermain. Namun, Stevanus tidak ditemui di lapangan bola dekat masjid itu.
"Saya tanya ke temannya, temannya bilang dia pergi ke mal Yogya Plaza. Saya tanya ada apa, katanya ada penjarahan," ujar Maria, menceritakan kembali saat anaknya menghilang.
Rumahnya yang terletak di Perumnas Klender memang tidak terlalu jauh dengan Yogya Plaza. Dia melihat orang-orang saat itu berlarian sambil membawa barang-barang jarahan seperti televisi, kulkas, kipas angin, setrika, dan lain sebagainya.
"Saya takut, enggak jadi pergi ke pasar untuk beli persediaan obat di rumah untuk anak-anak. Biasanya kalau kerusuhan seperti itu banyak toko tutup, makanya saya sempetin beli obat. Tapi tetangga bilang di pasar juga sedang ramai penjarahan," tuturnya.
Malam harinya, Stevanus belum juga pulang. Maria tengah bersiap untuk pergi berdoa Rosario di rumah salah satu kerabatnya.
Dia memutuskan untuk tetap menunggu. Sebab, pada paginya Stevanus sudah berjanji akan menemaninya pergi.
Kemudian, Maria melanjutkan, ada seorang ibu yang cerita anaknya harus pulang jalan kaki dari sekolah, karena tidak ada angkutan umum yang mau ke lewat Perumnas Klender.
"Saya bilang saya juga sedang nunggu Stevanus, sampai sekarang belum pulang," ucapnya.
"Biasanya dia aktif dan rajin ikut doa rosario. Stevanus pasti tahu kalau Kamis malam akan ada doa rosario," ujarnya.
Dua hari berlalu sejak terbakarnya Yogya Plaza, Maria belum juga menerima kabar dari Stevanus.
Dari berita di televisi ia mendengar kabar bahwa ada ratusan korban kebakaran yang sudah tidak bisa diidentifikasi dan akan dikuburkan secara massal.
Maria semakin khawatir anaknya ikut menjadi salah satu korban. Sanak saudaranya dari berbagai daerah menelepon, menanyakan kabar dan berasumsi kalau Stevanus menjadi salah satu korban yang akan dikuburkan secara massal.
"Hari Minggu, anak saya pergi ke RSCM, tapi tidak bisa menemukan Stevanus, karena banyak dari korban itu sudah enggak bisa dikenali," tutur Maria.
Maria juga sudah lapor ke Polsek Duren Sawit. Namun, sampai sekarang pun jeja Stevanus belum juga terlihat.
"Akhirnya saya hanya bisa pasrahkan kepada Tuhan," ucap Maria.
Pelanggaran HAM Berat
Terbakarnya mal Yogya Plaza termasuk salah satu rentetan peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 13-15 Mei 1998.
Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyebutkan bahwa peristiwa kerusuhan tersebut terjadi secara sistematis, massif dan meluas. Artinya, peristiwa itu memenuhi syarat dugaan telah terjadi pelanggaran HAM berat.
TGPF berkeyakinan, bahwa peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari konteks keadaan dan dinamika sosial-politik masyarakat sat itu.
Peristiwa-peristiwa sebelumnya, seperti Pemilu 1997, penculikan sejumlah aktivis, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR-RI 1998, unjukrasa/demonstrasi mahasiswa yang terus-menerus, serta tewas tertembaknya mahasiswa Universitas Trisakti, semuanya berkaitan erat dengan peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998.
Untuk peristiwa kebakaran Yogya Plaza Klender sendiri, TGPF menemukan fakta-fakta bahwa ada sekolompok provokator yang memancing massa untuk menjarah, mengunci pintu masuk, kemudian membakar gedung.
Para provokator ini tidak ikut menjarah dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar.
Maria Sanu hanyalah salah satu dari sekian banyak orangtua yang anaknya menjadi korban peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Saat ini, Maria mengaku pasrah, mengaku tidak mungkin lagi meminta pemerintah untuk mengembalikan anaknya.
Maria hanya minta kasus masa lalu itu diungkap kebenarannya dan mendapatkan keadilan. Dia juga meminta ketegasan Presiden Joko Widodo untuk merealisasikan janji kampanyenya terdahulu untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM.
"Ibu kan buta hukum. Saya hanya ingin kejelasan kasus ini. Siapa yang paling bertanggung jawab," tuturnya.
"Saya dengar waktu itu Munir sudah memegang nama-nama penanggungjawab kasus Mei 1998, tapi ya keburu diracun. Pak Jokowi harus tegas. Satu saja kasus yang bisa mengungkap, maka yang lain akan ikut terungkap" ujar Maria Sanu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment