AMBARAWA, Fenomena lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT) yang menyebar
menjadi gaya hidup remaja khususnya di perkotaan, salah satunya
disebabkan adanya pandangan tabu terhadap pendidikan seks untuk anak.
"Pendidikan
seks itu terkait dengan kesehatan reproduksi. Bukan mengajarkan cara
main seks. Ini yang masih jadi pemahaman keliru di sebagian besar
orangtua kita, " kata aktivis HIV/AIDS Semarang Andreas Bambang Santoso,
Senin (1/2/2016).
Pendidikan seks, lanjutnya, bukan dinilai
sebagai hal utama atau wajib diajarkan kepada anak. Orangtua beranggapan
si anak nanti akan tahu sendiri tentang seks saat beranjak dewasa.
"Sehingga
si anak akan mencari sendiri apa itu seks. Dan ketika masuk dalam
pergaulan yang salah, maka terjadilah seks bebas. Jadi, mulai sekarang
jangan hanya anak perempuan saja yang diperhatikan," ujar dia.
Selain faktor budaya, imbuhnya, banyak korban LGBT adalah dari keluarga dengan ekonomi lemah.
Gaya
hidup hedonisme menyebabkan remaja tergiur dengan iming-iming materi
yang ditawarkan oleh komunitas dengan perilaku seksual yang menyimpang
tersebut.
"Kebutuhan seperti ingin punya HP baru atau tambahan uang akan menjadikan gaya hidup LGBT semakin cepat menyebar," tuturnya.
Ditemui
terpisah, Pj Bupati Semarang Sujarwanto Dwiatmoko yakin fenomena LGBT
belum merambah di masyarakat Kabupaten Semarang, khususnya di kalangan
pelajar.
Namun untuk mengantisipasinya, pihaknya akan meminta
para akademisi untuk mendeteksi secara dini fenomena LGBT di tempat
mereka masing-masing.
"Kalau pelajar SMA belum lah,
mungkin bisa saja di kampus. Saya akan minta para akademisi untuk lebih
memperhatikan, agar LGBT tidak masuk ke kampus kita," kata Sujarwanto.
No comments:
Post a Comment