Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino.
JAKARTA, Kepala Subdirektorat Pencucian Uang di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes (Pol) Golkar Pangarso menyebutkan, pernyataan kuasa hukum Richard Joost Lino, Freidrich Yunadi, tidak tepat.
Yunadi mengatakan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melanggar kode etik karena telah dua kali mengaudit pengadaan 10 unit mobile crane di PT Pelindo II.
Audit pertama dan kedua tidak ditemukan kerugian negara. Golkar menjelaskan, audit BPK atas proyek PT Pelindo yang pertama adalah audit kinerja.
Pada audit itu, BPK memang tidak meneliti potensi kerugian negara. BPK hanya sebatas mengaudit apakah ada kesalahan prosedural dalam pengadaan atau tidak.
"Temuan BPK sebelumnya itu audit kinerja. Di dalam audit kinerja, ya cuma manajemen, akuntansi. Dalam audit itu pun ditemukan pelanggaran administrasi dan kinerja. Dia (BPK) memang enggak cari kerugian negara," ujar Golkar di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (28/1/2016) malam.
Perhitungan kerugian negara, lanjut Golkar, hanya bisa dihitung melalui audit kerugian negara. Metode audit berbeda dengan audit kinerja. Audit jenis itulah yang diminta penyidik Bareskrim Polri kepada BPK atas pengadaan 10 unit mobile crane di Pelindo usai audit kinerja dilakukan.
Selain soal kesalahpahaman audit kerugian negara dan audit kinerja oleh BPK, Golkar juga membantah pernyataan Yunadi yang menyebutkan bahwa kesepuluh unit mobile crane beroperasi maksimal seluruhnya.
"Menurut saksi ahli, dari sisi fungsi, tidak maksimal. Makanya saksi ahli berkesimpulan, proyek itu total lost selain karena proses pengadaan yang tak sesuai aturan," ujar dia.
Sebelumnya, penyidik Bareskrim Polri telah menerima penghitungan kerugian negara (PKN) pengadaan 10 unit mobile crane oleh PT Pelindo II dari BPK, Senin (25/1/2016) lalu.
Hasil audit BPK menunjukkan, pengadaan itu merugikan negara puluhan milyar rupiah.
"Total kerugian negara atas pengadaan 10 unit mobile crane sebesar Rp 37.970.277.778," ujar Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes (Pol) Agung Setya saat dihubungi, Senin (25/1/2016) sore.
Namun, kuasa hukum Lino, Freidrich Yunadi menyebut, BPK melanggar kode etik. Sebab, BPK pernah mengaudit pengadaan mobile crane pada Februari 2015 yang lalu.
Pada audit sebelumnya, BPK tidak menemukan adanya kerugian negara.
"Kenapa kemudian diam-diam mengeluarkan kerugian negara yang dikatakan, kerugian negaranya Rp 37,9 miliar," ujar Yunadi.
Pihak Lino juga mempersoalkan penghitungan BPK yang menyebutkan total lost. Menurut Yunadi, bisa disimpulkan total lost jika proyek pengadaan itu seluruhnya tidak ada alias fiktif.
Namun, Yunadi mengklaim kesepuluh mobile crane itu beroperasi dengan baik hingga saat ini.
"Faktanya barang itu berfungsi, berjalan dan menghasilkan uang Rp 3,8 miliar selama satu tahun. Saya punya bukti rekamannya, itu seratus persen jalan?," ujar dia.
No comments:
Post a Comment