Penarik becak di stasiun Tanjung Priok Jakarta Utara, Selasa
(16/1/2018). Perhatian terhadap penarik becak kembali diberikan oleh
Gubernur Anies Baswedan. Ia berharap becak tetap beroperasi di rute
khusus di Jakarta
MASS rapid transit (MRT) dan
light rail transit
(LRT) akan segera beroperasi tahun depan. Bus transkajarta juga semakin
nyaman, meski perlahan. Ok-Otrip alias satu tarif untuk berbagai
angkutan juga sudah mulai dijalankan.
Namun, ada satu kabar yang mengejutkan:
becak akan kembali dihidupkan. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Berbekal pertanyaan ini, saya hendak mengetahui apa yang berada di
balik semua ini. Saya memang terkejut ketika saya menemukan kampung
becak di sejumlah tempat di Jakarta. Setidaknya, ada sejumlah titik yang
menjadi tempat kampung becak di Jakarta.
Saya berkeliling Jakarta. Ada becak di Jakarta Utara, Semper,
Cilincing, dan Pademangan. Di Jakarta Pusat, Kemayoran. Kemudian
terakhir di Jakarta Selatan, di Pondok Labu, dekat kampus Universitas
Pembangunan Nasional (UPN) Veteran.
Itulah tempat-tempat yang saat ini masih ada becak, dan semuanya di Ibu Kota. Ya, di Ibu Kota!
Pertanyaannya, telah berapa lama mereka berada di sana? Tak banyak,
bahkan warga asli dan yang telah lama tinggal di Jakarta, bisa menjawab
ini.
Jawabannya adalah puluhan tahun. Sebagian di antaranya bahkan
turun-temurun. Padahal sejak Gubernur Soeprapto, persis di tahun 1985,
becak resmi dilarang. Tiga puluh tiga tahun sudah.
Pertanyaannya, kenapa mereka bisa beroperasi selama ini? Saya mendapatkan jawabannya: nekat!
Salah satu penarik becak yang saya wawancara dalam program "Aiman",
yang tayang pada Senin (22/1/2018) malam ini mengaku telah 15 kali
terjaring razia Satpol PP.
Lalu pertanyaan saya, apakah becaknya dikembalikan setelah terjaring razia dan disita? Tidak!
Artinya, 15 kali itu pula ia harus membeli becak, yang sebagian besar
berasal dari Bekasi dan Karawang, Jawa Barat. Harganya? Satu juta
rupiah untuk satu becak.
Wow, bukan harga yang murah untuk membeli belasan kali. Tetapi kenapa mereka mampu, lagi-lagi jawabannya: nekat!
Sudah nyaman bekerja menjadi penarik becak, meski risiko belasan kali
terjaring razia. Jangan-jangan memang pendapatannya yang lumayan?
Di tempat yang berlainan jawabannya nyaris sama, Rp 50.000 - Rp
60.000 per hari. Sebenarnya jumlah yang sangat minim, kalau tidak mau
dikatakan kurang, untuk ukuran hidup di Jakarta dengan istri dan dua
anak, misalnya.
Ssstt.. bahkan si bapak penarik becak yang sudah 15 kena razia ini
memiliki lima anak, yang paling kecil masih bayi. Usia bapak ini sudah
55 tahun dan menikah tiga kali. Setelah istri pertama meninggal, ia
menikah lagi, kemudian istri kedua pun wafat dan ia kembali menikah.
Di mana becak bakal dilegalkan?
Pertanyaan selanjutnya, di mana lokasi becak akan segera dilegalkan
di Jakarta sesuai pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan?
Saya menanyakan hal teknis ini ke Kepala Dinas Perhubungan DKI
Jakarta. Jawabannya: masih dibahas. Namun, ada beberapa alternatif.
Yang pertama, di tempat yang sebelumnya sudah ada becak. Namun, ini
tidak serta-merta berlaku karena RT, RW, hingga lurah akan kembali
ditanya kesediaannya soal ini. Musyawarah akan dilakukan perangkat
lingkungan ini dengan Pemprov DKI.
Artinya, kemungkinan besar di tiga wilayah Jakarta yang saya sebutkan
diatas, bisa jadi, becak akan kembali marak. Tentu jumlahnya sangat
mungkin bertambah, tinggal bagaimana pengaturannya nanti.
Saya pribadi sulit membayangkan, jika becak dilegalkan maka akan
"ditahan" dengan jumlah yang sama, tidak boleh ada penambahan jumlah
becak, rasanya sulit. Yang sudah ada saja, bertahan puluhan tahun, tentu
keluarga, anak, dan kerabatnya di daerah, sangat mungkin untuk datang
ke Jakarta dan menarik becak.
Alternatif kedua, hanya berada di tempat wisata. Ini pun saya sulit membayangkan, bagaimana pembatasan wilayah operasi mereka.
Jika becak hanya boleh di tempat wisata dan tidak boleh keluar dari
lokasi itu, maka pemerintah Provinsi DKI Jakarta semestinya menggaji
mereka sesuai dengan upah minimum Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 3,6
juta per orang.
Intinya apa pun alternatifnya, saya merasakan bagaimana menaiki becak
di Jakarta di kawasan Pademangan, Jakarta Utara, menuju ke arah jalan
Gunung Sahari, hampir sepanjang jalan, telinga saya seringkali saya
tutup karena klakson banyak mobil bersahutan di belakang saya gara-gara
laju mereka tersendat akibat becak yang dikayuh sang bapak 55 tahun ini.