Pak Ahok Bukan Bang Ali


Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di ruang kerjanya di Balai Kota, Sabtu (21/11/2015).

"Saya kira dalam hal mengurus Kota Jakarta Raya ini baik juga een beetje koppigheid (sedikit keras kepala)."

Ucapan Presiden Soekarno saat melantik Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) Ali Sadikin, seperti yang dikutip dari buku Bang Ali-Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan KH, itu bukannya tanpa alasan.

Sepertinya Bung Karno menyadari, sebagai ibu kota sebuah negeri besar, Jakarta memerlukan seorang pemimpin tegas yang memiliki keteguhan hati.

Sebagai seorang insinyur yang memiliki keahlian dalam perencanaan kota, Bung Karno tahu betul, mengelola sebuah kota bukan semata-mata mengurus hal-hal yang bersifat fisik, melainkan juga menyangkut manusia-manusia penghuninya.

Sejarah kemudian mencatat, Bang Ali menjadi Gubernur Jakarta terbaik. Atau dalam gaya guyon suroboyoan, Bang Ali adalah Gubernur DKI, sementara yang lain adalah gubernur penggantinya. Berkat ketegasan dan konsistensinya, Bang Ali berhasil mewujudkan sebuah Ibu Kota.

Sebutan keras kepala rupanya tak berarti dia tidak mau mendengar. Dialah gubernur yang selalu mendengar apa yang diinginkan masyarakatnya.

Pernyataan-pernyataan kontroversialnya lebih sering dimaksudkan untuk "memancing" serta menampung reaksi dan masukan dari masyarakat Ibu Kota.

Letnan Jenderal Korps Komando Angkatan Laut itu adalah seorang gubernur yang keras, cerdik, konsekuen, dan konsisten terhadap kebijaksanaannya.

Meski demikian, Bang Ali juga dikenal merakyat dan humanis, yang tak segan menyingsingkan lengan baju turun langsung ke lapangan.

Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias (Pak) Ahok tentu saja bukan Bang Ali. Mereka hadir dalam zaman yang berbeda dan tentu menghadapi persoalan Ibu Kota yang juga tidak sama.

Bang Ali menerakan tapak sebuah metropolitan yang membanggakan. Terlepas dari berbagai persoalan, di zamannya, di tangannya, Jakarta kemudian memiliki proyek MHT (Muhammad Husni Thamrin), Taman Ismail Marzuki, Taman Impian Jaya Ancol, hingga kawasan pelestarian budaya Betawi di Condet.

"Keteguhan dan keras kepala" Pak Ahok bisa menjadi modal untuk menata Ibu Kota yang lebih baik lagi. Dia bisa menerakan sejarah untuk mewujudkan sebuah Ibu Kota idaman yang disegani.

Sepertinya jalan ke arah itu sudah terbentang walau gangguan dan rongrongan tentu saja ada. Apalagi mengingat saat ini bukan melulu persoalan Ibu Kota semata yang dihadapi gubernur. Sering kali ada kepentingan-kepentingan politik yang menari di antaranya.

Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta dua tahun lagi membuat suasana politik mulai ramai. Belum lagi masyarakat yang lebih terbuka, media sosial yang berisik sering kali memanaskan situasi.

Namun, Pak Ahok tetap bisa mengambil keuntungan dari semua itu guna mendapatkan informasi, masukan, dan kritik lebih banyak ketimbang zaman Bang Ali dulu yang hanya mengandalkan media cetak.

Mengubah noise menjadi voice di media sosial adalah salah satu cara yang bijak.

Di bawah kepemimpinannya, Ahok berupaya memosisikan Pemprov DKI sebagai pelayan rakyat. Berbagai upaya memperbaiki mutu pelayanan publik terus dilakukan.

Langkah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, berwibawa, efektif, dan efisien sudah dicoba.

Sebuah pekerjaan yang tidak mudah, mengingat berbagai persoalan Ibu Kota sudah ibarat benang kusut yang perlu kerja keras untuk mengurainya. Ahok harus bisa menggunting kekusutan itu, malah!

No comments:

Post a Comment