"Disubsidi" Negara, Korupsi Jadi "Investasi" Menguntungkan


Data korupsi hasil penelitiandari Lembaga Laboraturium Ilmu Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM)

YOGYAKARTA,- Peneliti dari Lembaga Laboraturium Ilmu Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) Rimawan Pradiptyo mengatakan, korupsi yang dilakukan oleh koruptor terkesan justru di "subsidi" oleh negara. Sebab, uang yang dikembalikan terdakwa kepada negara nilainya lebih kecil dari jumlah korupsinya.
"Aneh, di Indonesia masak tajam ke bawah tumpul ke atas, di mana rasa keadilan itu. Kok bisa orang korupsinya kecil malah dihukum enggak karuan, yang gede malah santai," ujar Rimawan di Yogyakarta, Selasa (05/04/2016).
Ia menyebut, koruptor kelas gurem dengan nilai korupsi di bawah Rp 10 juta mendapatkan hukuman finansial hingga 3.428 persen, lebih tinggi dari kerugian yang diciptakan.
Sedangkan koruptor kelas kakap dengan nominal korupsi Rp 25 miliar ke atas justru hanya dihukum rata-rata 8,3 persen dari nilai kerugian negara yang diciptakan.
"Jadi celakalah bagi orang-orang yang korupsi kelas gurem. Kalau yang kakap secara hitungan investasi itu menguntungkan," ujarnya.
Sehingga, sebut dia, seakan-akan korupsi yang dilakukan oleh koruptor selama ini terkesan ‘disubsidi’ oleh negara. Sebab, uang yang dikembalikan terdakwa kepada negara sangat kecil dibanding nilai uang yang dikorupsi.
Misalnya, kasus korupsi yang terjadi di Bantul.  Berdasarkan hasil pemetaan korupsi yang diunggah di situs cegahkorupsi.feb.ugm.ac.id, pada kasus ini terdapat 12 terdakwa dengan nilai kerugian mencapai Rp 16,3 miliar. Namun uang korupsi yang dikembalikan ke negara hanya Rp 4,2 milyar.
"Artinya apa, ada Rp 12 miliar disubsidi ke koruptor,” tuturnya.
Menurut dia, perlu ada revisi undang-undang Tipikor, agar memberikan hukuman kepada koruptor lebih proposional dengan biaya sosial korupsinya.
"Selama ini hukuman belum proposional karena dibatasi denda hanya Rp 1 miliar tidak bisa lebih dari itu. Memang ada hukuman pengganti, faktanya belum tentu itu diterapkan," kata dia.
Oleh karena itu, ucap dia, hal yang urgen sebenarnya adalah merevisi undang-undang anti korupsi.   "Yang urgen dan penting itu revisi UU anti korupsi, bukan justru mempermasalahkan revisi UU KPK," ucapnya.

No comments:

Post a Comment