
Sri Handayani saat menunjukan foto putranya almarhum Syaits Asyam
Tiga medali emas olimpiade kimia tingkat SMA masih tergantung di dinding kamar tidur Syaits Asyam, Rabu (25/1/2017) siang.
Di samping medali-medali itu, terdapat tempelan kertas berisi daftar
cita-cita sang pemilik kamar, termasuk keinginan kuliah S-2 di
Universitas Oxford, Inggris. Sayang, cita-cita itu tak mungkin lagi
terwujud.
Sabtu (21/1/2017) pukul 14.45, Asyam mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit (RS) Bethesda,
Yogyakarta.
Menurut Kepala Bagian Humas dan Marketing RS Bethesda Nur Sukawati,
Asyam meninggal karena pneumonia atau radang paru-paru dan gagal napas.
Pemeriksaan
medis juga menunjukkan lelaki berusia 19 tahun itu mengalami patah
tulang di bagian tangan, kaki, punggung, dan pantat. ”Pasien itu (Asyam)
datang ke rumah sakit pada Sabtu pukul 05.46 dalam keadaan sesak napas
dan kesulitan bicara,” ungkap Nur.
Asyam meninggal setelah mengikuti kegiatan pendidikan dasar (diksar) organisasi pencinta alam Universitas Islam Indonesia (
UII),
Yogyakarta. Mahasiswa Teknik Industri
UII
angkatan 2015 itu mengikuti diksar bertajuk ”The Great Camping” yang
diselenggarakan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Unisi, organisasi
pencinta alam di
UII.
Acara tahunan itu dilaksanakan pada 13-20 Januari 2017 di lereng selatan Gunung Lawu, Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar,
Jawa Tengah, dengan jumlah peserta 37 orang. Sesudah mengikuti acara itu, tiga mahasiswa
UII
peserta pendidikan dasar meninggal dunia. Selain Asyam, mereka yang
meninggal adalah Muhammad Fadhli (20), mahasiswa Teknik Elektro angkatan
2015, dan Ilham Nurpadmy Listia Adi (20), mahasiswa Fakultas Hukum
UII.
Kesedihan yang mendalamKepergian
Asyam untuk selamanya meninggalkan kepedihan yang mendalam bagi
keluarga. Ibunda Asyam, Sri Handayani (46), menuturkan, saat pertama
kali melihat kondisi anaknya di ruang perawatan RS Bethesda, ia sangat
terkejut. ”Anak saya itu sebelumnya ganteng, tetapi saat itu tubuhnya
luka-luka,” ujarnya dengan suara terbata-bata.
Sebelum meninggal,
dengan kemampuan bicara yang sudah menurun, Asyam sempat bercerita
kepada sang ibu soal penganiayaan yang dialaminya. ”Kata Asyam,
punggungnya dipukul pakai rotan 10 kali. Ia juga bilang sempat diinjak,”
ujar Sri di rumah duka di Desa Caturharjo, Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa
Yogyakarta (
DIY).
Sri
menyatakan dirinya diminta dokter untuk bertanya kepada Asyam tentang
apa yang dialami putranya. Namun, melihat kondisi Asyam yang terus
menurun, Sri tidak tega dan lidahnya terasa kelu untuk bertanya.
”Sebelum meninggal, Asyam sempat meminta maaf dan mencium tangan saya.
Saya yang mengantar sakaratul mautnya,” kata Sri kembali terbata.
Prestasi membanggakanAsyam merupakan pemuda yang berprestasi. Saat masih bersekolah di SMA Kesatuan Bangsa, Kabupaten Bantul,
DIY,
anak tunggal pasangan Abdullah (46) dan Sri Handayani itu meraih medali
emas di tiga olimpiade bidang kimia, dua di antaranya merupakan
olimpiade level internasional.
Olimpiade yang dijuarai Asyam
adalah Indonesian Science Project Olympiad 2014 di Jakarta,
International Science Project Olympiad 2014 di Jakarta, dan
International Environment Sustainability Project Olympiad Tahun 2014 di
Belanda. Karena prestasinya itu, Asyam diundang ke Istana Merdeka,
Jakarta, pada peringatan Hari Ulang Tahun Ke-70 Indonesia pada 2015 oleh
Presiden
Joko Widodo.
”Anak
saya tidak hanya membanggakan orangtuanya, tetapi juga negara. Ia
menjuarai olimpiade kimia internasional di Belanda,” kata Sri seraya
menunjukkan kondisi kamar Asyam.
Dengan prestasi semacam itu,
wajar apabila Asyam memiliki cita-cita tinggi untuk kuliah di
Universitas Oxford. Dalam kertas yang ditempel di dinding kamarnya,
terdapat gambar piramida dengan enam tingkatan. Di tingkat keempat,
Asyam menulis cita-cita mendapatkan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,5
dan nilai Test of English as a Foreign Language (TOEFL) lebih dari 500.
Di tingkat kelima, Asyam menargetkan lulus dari
UII
tahun 2019. Lalu, di tingkat keenam atau paling puncak, ia menulis
target kuliah S-2 di Universitas Oxford. Di tingkat paling atas itu pula
ia menulis cita-cita yang sangat mulia, yakni membahagiakan orangtua.
”Saya sebenarnya punya cita-cita agar Asyam bisa menjadi menteri ristek
(riset dan teknologi) karena ia suka penelitian,” kata Sri.
Sri
juga menuturkan, sejak kecil, dirinya telah mendidik Asyam agar memiliki
karakter yang baik. Di lemari di kamar tidur Asyam tertempel kertas
bertuliskan ”Butir-butir Pribadi Asyam” yang berisi 16 karakter, yakni
disiplin, tertib, jujur, teliti, bersih, rajin, takwa, punya cita-cita,
rapi, bisa dipercaya, ramah, suka menolong, beriman, kerja keras,
ikhlas, dan tawakal.
”Boleh ditanya kepada teman-temannya, karakter Asyam sama dengan butir-butir pribadi yang ditempel itu,” ungkap Sri.
Paman
Asyam, Lilik Margono (51), menuturkan, Asyam merupakan sosok yang
perhatian kepada teman-temannya. Saat kecil, misalnya, Asyam kerap
membelikan makanan untuk teman-temannya. ”Makanya, saat Asyam meninggal,
banyak temannya, termasuk yang dari
Jawa Timur, melayat,” katanya.
Keluarga,
kata Lilik, telah melaporkan meninggalnya Asyam ke Kepolisian Resor
Karangnyar. Jenazah Asyam juga sudah diotopsi untuk diketahui penyebab
kematiannya. Ada dugaan Asyam mengalami penganiayaan sebelum meninggal
dunia. Apalagi, sebelum meninggal, Asyam sempat menyebut nama orang yang
melakukan penganiayaan kepadanya.
”Kematian Asyam sangat berat
bagi kami. Dan, kami membawa kasus ini ke jalur hukum karena tidak ingin
ada korban lain,” tutur Lilik.
Meninggalnya Asyam juga
meninggalkan kesedihan bagi teman dekatnya, Abyan Razaki (19), yang juga
mengikuti acara ”The Great Camping”. Hingga Rabu (25/1), Abyan masih
dirawat di Rumah Sakit Jogja International Hospital (RS JIH), Kabupaten
Sleman, karena menderita bronkitis, infeksi ginjal, dan infeksi di
bagian kaki.
Kakak Abyan, Raihan Aflah (20), menuturkan, saat
mendengar Asyam meninggal dunia, adiknya bersikeras ingin datang untuk
melayat. Padahal, saat itu Abyan masih menjalani perawatan, termasuk
harus diinfus, di RS JIH.
”Sebenarnya pihak rumah sakit minta
Abyan bed rest (istirahat di tempat tidur). Tetapi, karena Abyan
bersikeras, akhirnya kami minta izin kepada pihak rumah sakit untuk
melepas infus agar adik saya bisa melayat,” tuturnya.
Budi
Setiawan (52), ayah Abyan, mengisahkan, Asyam sempat menginap di kamar
kos Abyan sebelum berangkat ke acara ”The Great Camping”. Menurut Budi,
Abyan dan Asyam telah menjalin persahabatan sejak SMA karena sama-sama
bersekolah di SMA Kesatuan Bangsa.
Menurut Raihan, Abyan pernah
mengatakan bahwa Asyam sebenarnya telah menyatakan mengundurkan diri di
tengah-tengah acara ”The Great Camping”. Pengunduran diri itu justru
membuat Asyam dipisahkan dari peserta lain. Apa yang dialami Asyam
setelah itu belum diketahui secara pasti. Yang jelas, sehari setelah
acara ”The Great Camping” selesai, pemuda berprestasi itu meninggal.
Pupus sudah semua cita-citanya itu. (Haris Firdaus/Dimas waraditya
Nugraha)