Pemimpin Jadi Kunci Reformasi

JAKARTA, Perilaku pemimpin menjadi kunci sukses reformasi budaya di kepolisian yang masih terkesan permisif terhadap korupsi. Selain itu, perbaikan perekrutan serta transparansi pemberian penghargaan dan hukuman menjadi faktor utama mewujudkan polisi yang profesional.
Pengamat kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, mengatakan, setiap perwira tinggi Polri harus menunjukkan keteladanan dan gaya hidup sederhana sehingga mereka memberi perhatian terhadap kesulitan para anggotanya dalam menghadapi beban tugas dan beban hidup. Ia menambahkan, para pemimpin Polri juga tidak boleh menoleransi anggota kepolisian yang terbukti melakukan kesalahan dan menjauhkan sikap pilih kasih terhadap pemberian hukuman.
”Pimpinan Polri harus memberi penghargaan kepada anggota yang berprestasi secara benar. Dan, pimpinan juga perlu menjaga kehidupan setara antartingkatan atau pangkat,” tutur Bambang, Minggu (21/8), di Jakarta.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, juga menekankan, perubahan gaya hidup pimpinan menjadi salah satu kunci untuk memulai reformasi budaya di kepolisian. Sebab, menurut dia, pemberian gaji yang besar belum menjamin perbaikan budaya itu andai pimpinan masih memberi contoh sikap koruptif.

Menolak suap
Selain itu, reformasi harus pula dibarengi dengan perbaikan sistem yang tidak memberikan peluang korupsi kepada anggota Polri.
”Pimpinan harus memberi teladan gaya hidup sederhana dan menolak suap. Sistem juga harus memberi pengawasan ketat terhadap penggunaan keuangan dan hukuman bagi yang melanggar,” kata Poengky.
Dalam sejumlah kesempatan, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengatakan, pihaknya berupaya memperbaiki bidang kesejahteraan anggota kepolisian untuk mengurangi perilaku koruptif. Menurut Tito, peningkatan kinerja paralel dengan kesejahteraan anggota.
Oleh karena itu, ia menargetkan dapat meningkatkan tunjangan kinerja kepolisian menjadi 70 persen pada 2017. Namun, dengan kondisi perekonomian negara yang tidak terlalu baik, Polri mengutamakan reformasi di bidang sumber daya manusia sebagai terobosan untuk mempercepat reformasi budaya.
”Kami mencari orang-orang yang berjiwa reformis, memiliki kompetensi, dan berkomitmen tinggi di posisi yang menentukan kredibilitas Polri, seperti jabatan direktur, pimpinan polda, dan pimpinan polres,” ujar Tito
.
Perekrutan
Sebaliknya, Poengky berpendapat tunjangan kinerja (remunerasi) bukan untuk membuat polisi tidak korupsi. Ia menuturkan, remunerasi seharusnya menjadi sebagai salah satu bentuk penghargaan Polri terhadap anggota yang berprestasi.
”Orang-orang dengan kinerja buruk walaupun diberi remunerasi tetap saja berkinerja buruk. Sebab, mereka menganggap remunerasi sebagai sesuatu yang wajar mereka terima. Selain itu, ditambah lagi masih adanya warisan korupsi dari masa lalu,” tutur Poengky.
Perilaku koruptif, ujar Bambang, tidak bisa dilepaskan dari faktor mental yang dipengaruhi lingkungan setiap polisi. Sebagai langkah reformasi budaya dalam jangka panjang, Poengky berharap Polri mereformasi sistem perekrutan. Perekrutan Polri, tambahnya, harus memiliki sistem merit dan berasas keadilan sehingga dapat menghasilkan individu kepolisian yang bersih dan berkualitas.

No comments:

Post a Comment