Dosen Universitas Indonesia, Ade Armando saat memenuhi panggilan polisi di Mapolda Metro Jaya pada Kamis (23/6/2016)
JAKARTA, Pakar Komunikasi Universitas Indonesia, Ade Armando menilai, kinerja Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada periode 2013-2016 sangat mengecewakan. Menurtutnya, KPI periode lalu terkesan disetir oleh kepentingan pemodal.
Ia mencontohkan salah satu grup televisi swasta yang digunakan
sebagai propaganda partai politik. Masyarakat, kata Ade, sudah
mengingatkan KPI untuk bertindak namun KPI tak bergeming.
Padahal, penggunaan stasiun televisi untuk propaganda partai politik melanggar Undang-Undang Penyiaran.
Padahal, penggunaan stasiun televisi untuk propaganda partai politik melanggar Undang-Undang Penyiaran.
"2014 itu jadi contoh buruk mengenai bagaimana penggunaan stasiun
televisi untuk kepentingan pemodal. Tapi toh KPI diam saja," kata Ade
saat dihubungi, Minggu (17/7/2016).
Contoh lain adalah terkait kewajiban stasiun televisi swasta ibu kota
agar berjaringan ke setiap daerah. Hal tersebut sudah dilakukan oleh
beberapa stasiun televisi baru namun 10 stasiun televisi bersikukuh
menolak aturan KPI tersebut.
Ke-10 stasiun televisi tersebut adalah yang akan diperpanjang izin siarnya akhir tahun ini. Ade pun melihat KPI yang lalu telah disusupi oleh titipan industri dan elit-elit politik yang efeknya berimbas pada kualitas tayangan.
"Jadi KPI yang terakhir ini justru contoh yang sangat buruk mengenai lembaga regulator penyiaran," tutur Anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) itu.
KPI, lanjut dia, sebetulnya diberi kewenangan oleh undang-undang untuk memaksa stasiun-stasiun televisi agar mematuhi peraturan yang mereka buat. KPI juga bisa bertindak tegas dengan mencabut izin siar jika peratutan yang dibuatnya tak dipatuhi atau dilanggar.
Karena itu ia berharap untuk periode selanjutnya, tak ada komisioner KPI yang merupakan titipan elit politik. Itu agar memunculkan anggota-anggota KPI yang berkualitas dan berintegritas demi pembenahan penyiaran.
Ke-10 stasiun televisi tersebut adalah yang akan diperpanjang izin siarnya akhir tahun ini. Ade pun melihat KPI yang lalu telah disusupi oleh titipan industri dan elit-elit politik yang efeknya berimbas pada kualitas tayangan.
"Jadi KPI yang terakhir ini justru contoh yang sangat buruk mengenai lembaga regulator penyiaran," tutur Anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) itu.
KPI, lanjut dia, sebetulnya diberi kewenangan oleh undang-undang untuk memaksa stasiun-stasiun televisi agar mematuhi peraturan yang mereka buat. KPI juga bisa bertindak tegas dengan mencabut izin siar jika peratutan yang dibuatnya tak dipatuhi atau dilanggar.
Karena itu ia berharap untuk periode selanjutnya, tak ada komisioner KPI yang merupakan titipan elit politik. Itu agar memunculkan anggota-anggota KPI yang berkualitas dan berintegritas demi pembenahan penyiaran.
Ade pun berharap agar Komisi I DPR dapat menjalankan tugasnya dengan
baik dalam menyeleksi komisioner baru KPI. DPR dalam hal ini memiliki
kekuatan untuk memaksa komisioner terpilih agar betul-betul menjalankan
amanat Undang-Undang Penyiaran.
Ia pun mempercayai DPR, mengingat anggota dewan juga sudah memilih
komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang dinilainya bagus.
"Sekarang hal yang sama seharusnya dilakukan untuk KPI. DPR memilih orang-orang terpilih untuk kepentingan publik. Jangan kepentingan partai, kepentingan pemodal," ucap mantan Komisioner KPI periode 2004-2007 itu.
Adapun DPR pada hari ini akan menggelar uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) Komisioner KPI. Uji kepatutan dan kelayakan berlangsung selama dua hari hingga Selasa (19/7/2016) besok.
"Sekarang hal yang sama seharusnya dilakukan untuk KPI. DPR memilih orang-orang terpilih untuk kepentingan publik. Jangan kepentingan partai, kepentingan pemodal," ucap mantan Komisioner KPI periode 2004-2007 itu.
Adapun DPR pada hari ini akan menggelar uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) Komisioner KPI. Uji kepatutan dan kelayakan berlangsung selama dua hari hingga Selasa (19/7/2016) besok.
No comments:
Post a Comment