Di dalam rancangan itu, delik zina untuk anak tidak lagi menjadi delik aduan. Menyetubuhi anak di bawah umur baik terikat mau pun tak terikat perkawinan sudah dianggap zina.
Sehingga, dipandang tidak perlu lagi delik aduan seperti di KUHP saat ini.
"Kita menolak kalau delik zina tidak menggunakan aduan. Itu terlalu eksesif dan bisa jadi intervensi ke ranah privat yang di lakukan negara," kata Supriyadi di Jakarta, Kamis (26/11/2015).
Tak hanya persoalan delik pidana zina yang menjadi perdebatan dalam pembahasan rancangan KUHP. Persoalan umur anak pun masih belum disepakati antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Supriyadi menjelaskan di dalam Paragraf 7 Tindak Pidana Aduan Pasal 27 ayat (1) Buku I Draft RKUHP, disebutkan bahwa apabila korban tindak pidana aduan belum berumur 16 tahun dan belum kawin atau berada di bawah pengampuan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah.
Namun, pada ayat (2) disebutkan jika wakil tersebut tidak ada, maka
penuntutan dilakukan atas pengadian wali pengawas atau majelis yang
menjadi wali pengawas.
"Fraksi Gerindra mengusulkan usia 16 diganti 18. PKS, Nasdem, PKB juga setuju dengan Gerindra," tutur Supriyadi.
Namun, pihak pemerintah bersikukuh bahwa pengaturan usia anak berbeda-beda karena konteksnya juga berbeda. Supriyadi mengatakan, alasan pemerintah menurunkan usia anak tersebut menjadi 16 tahun adalah supaya anak 16 tahun bisa melaporkan sendiri jika menjadi korban.
"Normanya zudah memadai, namun usia anak di KUHP baiknya konsisten," kata Supriyadi yang mengingatkan bahwa penetapan umur ini akan sangat berpengaruh pada delik pidana lain yang menyangkut anak, terutama perzinaan.
No comments:
Post a Comment