Kita
sering melihat dan membicarakan orang sukses. Tapi pembicaraan berhenti
pada fakta bahwa dia sukses, itu saja. Sering kita melihat sukses itu
sebagai keberuntungan dia belaka.
“Itu hoki dia,” kata kita. Sukses adalah kemurahan Tuhan yang Dia bagikan sesuai kehendakNya. Kalau kita tidak sukses, itu karena kita bukan orang yang dipilih Tuhan untuk sukses.
Tidak jarang pula kita membicarakan orang sukses dengan cara yang benar, yaitu kita membahas jalannya. Tapi hanya berhenti sampai pada pembicaraan.
“Dia orang yang rajin, giat, punya visi, bla bla bla….”
Kita tahu bagaimana dia bisa sukses, kita paham rumusnya. Tapi kita hanya menjadikannya pengetahuan saja, tidak menjadikannya tindakan. Seolah hanya dia yang bisa begitu, sementara kita mustahil melakukannya.
Tidak sedikit orang yang tidak puas dengan hidupnya, ia ingin mengubahnya. Tapi tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Seseorang bangun pagi, dia pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia ambil sebutir telur, ia panaskan penggorengan dengan minyak goreng, kemudian ia pecahkan telur tadi, ia masukkan isinya ke penggorengan. Lalu ia taburi garam. Ia akan mendapatkan seporsi telor ceplok.
Orang itu bangun pagi pada keesokan harinya. Ia ingin sarapan telur dadar. Ia ambil sebutir telur, ia panaskan penggorengan dengan minyak goreng, kemudian ia pecahkan telur tadi, ia masukkan isinya ke penggorengan. Lalu ia taburi garam.
Apakah ia akan mendapatkan telur dadar? Tidak. Ia akan kembali mendapatkan telur ceplok. Kenapa? Karena ia tidak mengubah cara hidupnya.
Begitulah. Banyak orang yang ingin mengubah hidupnya, tapi ia tidak pernah mengubah cara hidup. Maka hari-harinya akan berlalu tanpa perubahan. Kata Einstein, insanity is doing the same thing over and over, but expecting different results.
Apa yang harus kita ubah untuk mengubah hidup?
Pertama, cara pandang. Dunia di sekitar kita, kejadian-kejadian yang kita hadapi sering kali tampak sangat berbeda, bila kita lihat dengan sudut pandang yang berbeda.
Misalnya, ada orang yang melihat segala sesuatu dengan sudut pandang reaktif. Ia menempatkan dirinya sebagai “produk” dari berbagai situasi di lingkungannya. Bosnya tidak ramah, bawahannya tidak kompeten, rekan kerja tidak mendukung. Ia tidak sukses karena itu semua.
Kata Steven Covey,”Kalau kamu melihat semua masalah sumbernya ada di luar dirimu, maka kamu adalah orang yang paling bermasalah.”
Maka hal pertama yang harus kita ubah adalah cara kita melihat sesuatu. Ketimbang menjadi reaktif, menganggap diri kita adalah produk dari berbagai situasi di sekitar kita, Covey menyarankan sikap proaktif.
Orang proaktif memilih sikap yang dia ambil sebagai respons terhadap situasi yang dia hadapi, berdasarkan nilai yang dia anut. Ia mengendalikan situasi, bukan dikendalikan situasi.
Kedua, mengubah sikap-sikap dasar. Sebenarnya sudah merupakan rumus umum bahwa sukses itu berkaitan erat dengan kerja keras, disiplin, komitmen, kejujuran, respect, dan banyak hal lagi.
Mengubah hidup tentu saja otomatis berkait erat dengan mengubah sikap-sikap dasar tadi. Mengubah hidup berarti berubah menjadi orang yang tidak disiplin menjadi disiplin, dari jorok menjadi bersih, dan seterusnya.
Masalah bagi banyak orang adalah bahwa berubah itu membuat tidak nyaman. Situasi sekarang ini berlanjut karena orang biasanya menciptakan apa yang disebut dengan zona nyaman.
Keluar dari zona nyaman itu tidak enak. Karena itu ketika ada keinginan untuk berubah, keinginan itu dilawan oleh keinginan lain untuk tetap berada di dalam zona nyaman.
Perubahan memerlukan kemauan keras untuk keluar dari zona nyaman tadi.
Ketiga, mengambil resiko. Zona nyaman adalah dunia yang sudah sangat kita kenal, karena kita yang membangunnya. Ibarat kamar pribadi kita, di situ kita tahu di mana letak sakelar lampu, remote control AC, posisi kulkas, atau kamar kecil.
Sementara itu, di luar sana, dunia yang serba tidak kita kenal. Kita bayangkan diri kita akan terbentur tembok, terperosok lubang, atau tertusuk duri. Tidak ada jaminan bahwa kita akan berhasil.
Berubah artinya mengambil resiko, menghadapi semua kemungkinan itu. Kemungkinannya ada dua, berhasil atau gagal. Tapi sebenarnya peluang untuk berhasil lebih besar. Kenapa? Karena kita memilihnya. Tidak ada orang yang memilih untuk gagal.
Artinya, setiap tindakan yang kita ambil adalah tindakan yang menggiring kita untuk berhasil. Kalau di suatu titik kita salah bertindak sehingga menyebabkan kita mengarah pada kegagalan, kita bisa selalu mengoreksinya. Jadi, sebenarnya tidak ada yang perlu ditakutkan.
Keempat, bertindaklah sekarang. Bukan nanti. Bukan besok. Bukan sebentar lagi. Menunda adalah sebuah cara untuk menghindar, untuk tetap bertahan di zona nyaman. Sebentar lagi, satu jam lagi, sehari lagi, seminggu lagi, sebulan lagi, setahun lagi.
Menunda sering menghasilkan penundaan berikutnya. Itulah salah satu sebab kenapa banyak orang tidak pernah berubah.
Mau berubah? Berubahlah sekarang!
“Itu hoki dia,” kata kita. Sukses adalah kemurahan Tuhan yang Dia bagikan sesuai kehendakNya. Kalau kita tidak sukses, itu karena kita bukan orang yang dipilih Tuhan untuk sukses.
Tidak jarang pula kita membicarakan orang sukses dengan cara yang benar, yaitu kita membahas jalannya. Tapi hanya berhenti sampai pada pembicaraan.
“Dia orang yang rajin, giat, punya visi, bla bla bla….”
Kita tahu bagaimana dia bisa sukses, kita paham rumusnya. Tapi kita hanya menjadikannya pengetahuan saja, tidak menjadikannya tindakan. Seolah hanya dia yang bisa begitu, sementara kita mustahil melakukannya.
Tidak sedikit orang yang tidak puas dengan hidupnya, ia ingin mengubahnya. Tapi tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Seseorang bangun pagi, dia pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia ambil sebutir telur, ia panaskan penggorengan dengan minyak goreng, kemudian ia pecahkan telur tadi, ia masukkan isinya ke penggorengan. Lalu ia taburi garam. Ia akan mendapatkan seporsi telor ceplok.
Orang itu bangun pagi pada keesokan harinya. Ia ingin sarapan telur dadar. Ia ambil sebutir telur, ia panaskan penggorengan dengan minyak goreng, kemudian ia pecahkan telur tadi, ia masukkan isinya ke penggorengan. Lalu ia taburi garam.
Apakah ia akan mendapatkan telur dadar? Tidak. Ia akan kembali mendapatkan telur ceplok. Kenapa? Karena ia tidak mengubah cara hidupnya.
Begitulah. Banyak orang yang ingin mengubah hidupnya, tapi ia tidak pernah mengubah cara hidup. Maka hari-harinya akan berlalu tanpa perubahan. Kata Einstein, insanity is doing the same thing over and over, but expecting different results.
Apa yang harus kita ubah untuk mengubah hidup?
Pertama, cara pandang. Dunia di sekitar kita, kejadian-kejadian yang kita hadapi sering kali tampak sangat berbeda, bila kita lihat dengan sudut pandang yang berbeda.
Misalnya, ada orang yang melihat segala sesuatu dengan sudut pandang reaktif. Ia menempatkan dirinya sebagai “produk” dari berbagai situasi di lingkungannya. Bosnya tidak ramah, bawahannya tidak kompeten, rekan kerja tidak mendukung. Ia tidak sukses karena itu semua.
Kata Steven Covey,”Kalau kamu melihat semua masalah sumbernya ada di luar dirimu, maka kamu adalah orang yang paling bermasalah.”
Maka hal pertama yang harus kita ubah adalah cara kita melihat sesuatu. Ketimbang menjadi reaktif, menganggap diri kita adalah produk dari berbagai situasi di sekitar kita, Covey menyarankan sikap proaktif.
Orang proaktif memilih sikap yang dia ambil sebagai respons terhadap situasi yang dia hadapi, berdasarkan nilai yang dia anut. Ia mengendalikan situasi, bukan dikendalikan situasi.
Kedua, mengubah sikap-sikap dasar. Sebenarnya sudah merupakan rumus umum bahwa sukses itu berkaitan erat dengan kerja keras, disiplin, komitmen, kejujuran, respect, dan banyak hal lagi.
Mengubah hidup tentu saja otomatis berkait erat dengan mengubah sikap-sikap dasar tadi. Mengubah hidup berarti berubah menjadi orang yang tidak disiplin menjadi disiplin, dari jorok menjadi bersih, dan seterusnya.
Masalah bagi banyak orang adalah bahwa berubah itu membuat tidak nyaman. Situasi sekarang ini berlanjut karena orang biasanya menciptakan apa yang disebut dengan zona nyaman.
Keluar dari zona nyaman itu tidak enak. Karena itu ketika ada keinginan untuk berubah, keinginan itu dilawan oleh keinginan lain untuk tetap berada di dalam zona nyaman.
Perubahan memerlukan kemauan keras untuk keluar dari zona nyaman tadi.
Ketiga, mengambil resiko. Zona nyaman adalah dunia yang sudah sangat kita kenal, karena kita yang membangunnya. Ibarat kamar pribadi kita, di situ kita tahu di mana letak sakelar lampu, remote control AC, posisi kulkas, atau kamar kecil.
Sementara itu, di luar sana, dunia yang serba tidak kita kenal. Kita bayangkan diri kita akan terbentur tembok, terperosok lubang, atau tertusuk duri. Tidak ada jaminan bahwa kita akan berhasil.
Berubah artinya mengambil resiko, menghadapi semua kemungkinan itu. Kemungkinannya ada dua, berhasil atau gagal. Tapi sebenarnya peluang untuk berhasil lebih besar. Kenapa? Karena kita memilihnya. Tidak ada orang yang memilih untuk gagal.
Artinya, setiap tindakan yang kita ambil adalah tindakan yang menggiring kita untuk berhasil. Kalau di suatu titik kita salah bertindak sehingga menyebabkan kita mengarah pada kegagalan, kita bisa selalu mengoreksinya. Jadi, sebenarnya tidak ada yang perlu ditakutkan.
Keempat, bertindaklah sekarang. Bukan nanti. Bukan besok. Bukan sebentar lagi. Menunda adalah sebuah cara untuk menghindar, untuk tetap bertahan di zona nyaman. Sebentar lagi, satu jam lagi, sehari lagi, seminggu lagi, sebulan lagi, setahun lagi.
Menunda sering menghasilkan penundaan berikutnya. Itulah salah satu sebab kenapa banyak orang tidak pernah berubah.
Mau berubah? Berubahlah sekarang!
No comments:
Post a Comment