Kejagung Sempat Selidiki Dugaan Rekening Gendut Gubernur Sulawesi Tenggara, tetapi Dihentikan


Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, diBalai Kota, Jumat (6/3/2015).

JAKARTA,  Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemberian izin pertambangan nikel di dua kabupaten di Sultra, selama 2009 hingga 2014. Ternyata, Nur Alam juga pernah berurusan dengan Kejaksaan Agung, tetapi kasusnya dihentikan. Pada akhir tahun 2014, Kejaksaan Agung memulai penyelidikan dugaan rekening gendut sejumlah kepala daerah yang didalami berdasarkan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Salah satunya yaitu Nur Ali.
Dia diduga melakukan pencucian uang sebesar Rp 40 miliar yang diterimanya dari seorang pengusaha tambang asal Taiwan atas izin usaha tambang yang dikeluarkannya.
Penyelidik pun telah menelusuri adanya kucuran dana yang diduga mengalir ke perusahaan tambang Richcorp International Limited di Hongkong.

"Kami membuat pertanyaan lalu dikirim ke Hongkong untuk mendapatkan jawaban, sudah ada jawabannya, nanti saja kita lihat. Jadi masih didalami," ujar Maruli Hutagalung, yang saat itu masih menjabat sebagai Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Jumat (12/6/2015).
Selain itu, beberapa orang saksi, di antaranya staf perusahaan pribadinya, telah dimintai keterangan di gedung bundar.
Tak cukup bukti
Penyelidikan yang cukup lama membuat masyarakat setempat gerah dan putus asa dengan penanganan kasus Nur Alam di Kejaksaan Agung. Benar saja, pada September 2015, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung saat itu, Amir Yanto, menyatakan bahwa kasus ini dihentikan.
Menurut dia, penyelidik tidak memiliki cukup bukti penguat untuk meningkatkan kasus ini ke penyidikan.

"Belum ditemukan sebagai peristiwa pidana sehingga penyelidikannya dihentikan. Belum pro justisia," kata Amir.
Namun, pihaknya akan membuka kembali kasus dugaan korupsi orang nomor satu di Sultra jika ditemukan bukti baru oleh penyidik. Padahal, sebelumnya, Kejagung menyatakan bahwa hasil penyelidikan sementara menunjukkan fakta bahwa uang itu memiliki keterkaitan dengan pemberian izin kuasa pertambangan yang beroperasi di Sulawesi Tenggara.
Beralih ke KPK
Meski kasusnya dihentikan di Kejaksaan Agung, Nur Ali tak bisa bernapas lega. Ternyata, Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengincarnya karena telah menerima laporan dari PPATK terkait rekening mencurigakan.
Pada Selasa (23/8/2016), KPK mengumumkan Nur Ali sebagai tersangka karena menyalahgunakan wewenangnya.
Menurut Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, penyalahgunaan wewenang dilakukan dengan menerbitkan SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan dan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi.
Selain itu, penerbitan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB), selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.

"Diduga, penerbitan SK dan izin tidak sesuai aturan yang berlaku, dan ada kick back yang diterima Gubernur Sultra," kata Syarif.
Penyidik KPK telah melakukan pengembangan kasus ini sejak satu tahun terakhir. Tak hanya itu, KPK menduga perkara ini juga melibatkan Bupati Buton dan Bupati Bombana di Sulawesi Tenggara.
Meski penerbitan izin pertambangan telah diserahkan kepada gubernur, kepala daerah di Buton dan Bombana, diduga ikut merekomendasikan penerbitan izin pertambangan nikel kepada Gubernur Nur Alam.
"Lokasi pertambangan berada di dua lokasi kabupaten sehingga ada rekomendasi dari dua pimpinan kabupaten tersebut ke Gubernur," ujar Syarif.
Nur Alam disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

No comments:

Post a Comment