Santun Berpolitik, Berpolitik Santun

Oleh: Hinca IP Pandjaitan XIII

Media sosial kini menjadi keniscayaan dalam berdemokrasi. Dua minggu lalu Budiman Tanuredja,  pembawa  acara Satu Meja yang populer di Kompas TV membicarakannya, lalu Harian Kompas  (4/4) lewat penulisnya Antony Lee, juga membicarakan media sosial ini.
Benang merahnya, netizen sang warga siber ini menggunakannya sebagai papan selancar paling meriah menyampaikan pandangannya. Mem-bully, salah satu aktivitas paling gencar yang dikerjakan gotong royong. Tetapi, tak selamanya bergotongroyong, individual juga bisa.
Citizen jurnalism ala Kompasiana juga sarana bagi warga menulis kritik dengan caranya sendiri.
Tak boleh kuping tipis atas bully-an netizen, sebaliknya netizen tak boleh mencemooh sesukanya tanpa etika dan tanpa batas. Ada hukum yang akan mengadilinya, termasuk UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik).
Begitulah karakter media sosial, yang bermata dua. Bagi seorang ibu, pisau digunakan mempersiapkan makanan bagi keluarga tercinta. Bagi seorang pembunuh pisau digunakan untuk mencabut nyawa. Jadi sangat bergantung kepada orangnya. Saya pilih yang pertama; mulianya seorang ibu menyiapkan makanan untuk keluarga tercinta.
Kritik Berlebihan
Tak ada angin dan tak ada hujan, seorang tokoh yang lebih dikenal sebagai pengamat, langsung nyamber saja atas aktivitas politik SBY dan PD di Bogor seminggu penuh.
Ketika SBY mengajak berpolitik santun, ada saja yang langsung komentar sinis. Intinya, mengatakan kalau tak ingin di-bully atau dikritik berhenti jadi politisi dan bubarkan saja Partai Demokrat. "Waduh, kok galak amat", kata ku dalam hati merespons statementnya.
Kita tidak anti kritik, justru yang kita tak setuju kritiknya yang dibumbuhi  melebihi menu kritik itu, main hantam dengan kata bubarkan. Kesan yang bisa ditangkap publik adalah kata terakhir itu, bukan substansi kritik.
Mari berpolitik santun, itu saja. Dibutuhkan etika yang patut dimuka publik. Apalagi bila kita kerap tampil dan dikenal publik. Dan yang penting paham juga etika berkomunikasi di media.
Saya setuju kritik itu penting dan sebagai oksigen demokrasi. Kritik perlu untuk cermin instropeksi diri. Tetapi kritik yang tembak sana tembak sini, rasanya sudah bukan lagi tujuan dari kritik itu. Tapi, sudah mengarah ke pembusukan dan pembentukan opini negatif.
Tentu tak perlu membenci apalagi memusuhi pengkritik. Tetapi kita ingin menggugah sikap kritiknya  agar lebih pas dan lebih patut. Takarannya tepat dan sebaiknya tak  menyuburkan kebencian.
Sudah Biasa Dibully     
Soal diserang dan di"bully" selama 10 tahun sebagai Presiden SBY tetap sabar, kuat dan tegar menghadapi "bully".
Selama 2,5 tahun Partai Demokrat juga dibully habis di media. Kami terima sebagai hikmah dan belajar dari kesalahan untuk bangkit. Nyatanya kami masih tetap bisa bertahan dan finish di peringkat empat pemilu legislatif 2014. "Terima kasih pengritik yang baik budi dan pemilih yang masih setia bersama kami".
Meski begitu, kritik agar SBY mundur dari Ketua Umum PD dan Partai Demokrat minta dibubarkan tentu menjadi pertanyaan; apa maksudnya?
Mari berpolitik santun. Mari santun berpolitik.
#salamnonangnonang
@horasIndonesia

No comments:

Post a Comment